Chapter 158 – Mengharapkan
Kebahagiaan (1)
Sovieshu berbohong kepada ibunya. Navier telah
memakan kue yang dicampur obat itu.
“Efek sampingnya tidak dirasakan semua orang.”
Setelah Sovieshu menyelesaikan ceritanya, dia
menekankan tangan ke pelipisnya dan menutup matanya.
“Hingga dewasa, saya pikir saya akan baik-baik saja karena saya hanya makan
sekali. Ibu saya telah menggunakan banyak obat, tetapi Navier dan saya masih sehat dan muda. Makanan kami juga telah
diganti dengan bahan-bahan yang akan menetralkan efek obat. "
Tapi mereka tidak memiliki bayi.
“Setelah saya tumbuh dewasa, saya bertanya-tanya apakah alasan
kami tidak memiliki anak adalah karena obat tersebut memengaruhi Permaisuri
atau saya, atau keduanya.”
Namun, setelah Rashta hamil, dia menjadi yakin
bahwa Permaisurilah yang mandul.
Imam Besar mencermati dengan serius kisah Sovieshu. Permaisuri
belum hamil, semua karena obat yang tanpa sadar dia konsumsi bertahun-tahun
yang lalu. Itu cukup untuk mengasumsikan ketidaksuburannya.
Selain itu, insiden tersebut melibatkan mantan
permaisuri, ibu Sovieshu. Dia telah terlibat dalam serangkaian skandal, dan
telah menyebabkan banyak selir sangat menderita. Dia
tidak bisa terkena skandal lain, dan Sovieshu harus tutup
mulut untuk melindungi kehormatannya.
Imam Besar pada awalnya berpikir tidak
biasanya mantan permaisuri tidak memutuskan pasangan muda itu, meskipun calon
menantunya mungkin tidak subur. Rata-rata permaisuri kemungkinan besar akan
mengganti Putri Mahkota sebagai tindakan pencegahan. Tampaknya mantan
permaisuri mungkin memiliki titik lemah untuk Navier. Imam Besar yakin akan hal
ini.
“Saya tidak bisa menyerahkan satu-satunya
darah daging saya. Saya harus melindungi anak saya. "
Mendengar kata-kata berat Sovieshu, Imam Besar
menghela napas.
***
Aku terus menatap tulisan di depanku, tetapi aku tidak bisa memahaminya. Aku membaca dokumen itu lagi. Semuanya akan segera terselesaikan; entah
bagaimana hasilnya nanti. Pikiranku terus melayang, bertanya-tanya apa yang dibicarakan oleh Imam Besar dan Sovieshu.
Tiga jam kemudian, ketika aku menerima kabar bahwa
Imam Besar ingin bertemu denganku, anehnya aku merasa lega.
'Dia akan datang.'
Aku memejamkan mata dan menarik napas
dalam-dalam.
“Mengapa Imam Besar mengunjungi Anda?”
Countess Eliza memberitahuku bahwa dia telah
tiba, tetapi ekspresinya terlihat
gelisah.
"Aku tidak tahu ... Aku harus menemuinya
dulu."
Countess Eliza mengangguk dan keluar dari
kamar. Setelah beberapa saat, pintu terbuka lagi dan Imam Besar masuk. Aku ingat bagaimana
penampilannya ketika dia menggoda Sovieshu dan aku ketika kami membuat sumpah pernikahan kami,
tetapi kali ini jenggotnya putih karena usia yang menua.
Dia menutup pintu, tetapi dia tidak segera menghampiriku.
Dia hanya menatapku dengan tatapan awas. Matanya, meski hangat, gemetar di balik keriput wajahnya. Aku
tersenyum padanya dengan canggung, dan dia bergumam, "Kamu tahu,"
lalu bahu dan dadanya tiba-tiba turun seolah dia akhirnya menemukan cara untuk
bernapas. Dia khawatir tentang bagaimana memberi tahuku bahwa Sovieshu ingin
menceraikanku.
"Datanglah kemari."
Aku berdiri dari mejaku dan menarik kursi
untuknya. Dia berjalan maju dengan langkah berat, memutuskan kata-kata yang
tepat untuk diucapkan.
“Jadi
begini.”
"Iya."
“Permaisuri Navier. Kalian berdua dulu sangat dekat."
“Itu hanya istana pasir.” [1]
Imam Besar mengatupkan bibirnya. Dia ingin menolak dan mengatakan bahwa itu sama sekali tidak
benar, dan terkadang, aku juga berpikir demikian. Semua senyuman yang saya dan Sovieshu berikan tidak dibangun dari pasir.
Tapi itu sudah berlalu. Dia telah menemukan cinta baru, dan aku hanyalah orang
yang lewat.
[2]
Imam Besar meletakkan tangannya di atas meja dan mengepalkan tinjunya beberapa
kali. Sementara itu, Countess Eliza datang
membawakan kopi dan kue, dan melihat pemandangan itu dengan mata cemas. Dia meninggalkan minuman di
atas meja, tapi Imam Besar tidak menyentuh makanannya.
“Ini tidak terlalu manis.”
Aku menawarinya untuk makan,
tetapi dia menggelengkan kepalanya. Tidak, dia menatap tajam ke kue-kue itu dan mencengkeram
dadanya.
'Apakah dia membenci kue?'
Reaksinya lebih intens dari yang kuharapkan. Haruskah kusingkirkan kuenya? Ketika aku memikirkan apa yang
harus dilakukan, dia berbicara lagi, memberi tahuku tentang alasan mengapa Sovieshu
mengajukan gugatan cerai.
"Kaisar Sovieshu menyatakan alasan
perceraian adalah karena saudara laki-laki Permaisuri, Tuan Koshar, mendorong
selir Kaisar yang sedang hamil, menculik dan melukai Viscount Roteschu untuk
mengetahui kelemahan selir itu, serta menyuap orang tua palsu untuk menipunya."
“Itu
semua tidak masuk akal.”
"... Dan karena Permaisuri tidak subur,
Kaisar Sovieshu harus melindungi bayi selir."
“Lagi-lagi, itu tidak masuk akal.”
Imam Besar menghela napas, tapi aku berbicara dengan nada yang lebih tegas mendahuluinya.
"Saya tidak bisa menerima semua
itu."
Bahkan jika sebelumnya aku sudah tahu Sovieshu sedang bersiap untuk
menceraikanku, aku tidak dapat menerima alasan yang menghina seperti itu. Aku harus mengatakan
tidak, meskipun itu tidak akan berpengaruh banyak pada proses perceraian.
Imam Besar menghela napas berat lagi, dan dia
menyatukan kedua tangannya membuat isyarat memohon.
"Kenapa hubungan kalian tidak sedekat
dulu?"
“Hanya
ada satu alasan.”
"Satu?"
“Hati
Kaisar berpaling ke orang lain. Itu saja."
Imam Besar menghembuskan napas, lalu menatapku dengan mata muram.
“Saya akan melanjutkan proses perceraian,
tetapi ini tidak akan mudah bagi Anda. Apakah Anda mengerti?"
Alih-alih menjawab, saya menanggapi dengan
tawa lembut.
Setelah itu, Imam Besar pergi. Aku memakan semua kue yang dia
tinggalkan tak tersentuh, lalu duduk kembali di mejaku. Hatiku tenang meskipun Imam Besar datang ke sini
untuk menyampaikan kabar buruk. Tidak peduli betapa mengerikan situasinya, aku selalu menjaga
ketenanganku.
Untungnya, tidak sulit untuk fokus pada pekerjaanku.
Larut malam tiba, dan seorang pelayan datang
untuk memberi tahuku bahwa Sir Artina telah kembali. Aku meletakkan penaku karena
terkejut. Sir Artina? Waktunya terlambat, tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Aku bergegas ke ruang tamu, dan aku melihat Sir Artina berdiri di sana dengan wajah
kelelahan. Rambutnya yang biasanya bersih dan rapi berlumpur dan kusut.
“Maaf,
Yang Mulia.”
Aku mendudukkan Sir Artina di kursi. Aku ingin segera bertanya apakah dia telah
mengirimkan surat itu, tetapi dia terlihat dalam kondisi yang sangat buruk. Dayangku bertanya apakah
kami ingin kopi atau teh, dan Sir Artina, alih-alih berbicara, memberi isyarat
kepadanya sebagai penegasan. Begitu dayangku
pergi, dia akhirnya berbicara.
“Marquis Farang telah pergi begitu jauh, dan mengejarnya butuh waktu
lebih lama dari yang saya duga. Tapi saya berhasil mengantarkan surat itu kepadanya sebelum dia melintasi perbatasan. "
"Mengantarkan? Surat?"
"Iya."
“Saya segera kembali, tapi jika Marquis Farang
melakukan perjalanan dengan kecepatan yang sama, dia pasti sudah melintasi perbatasan
menuju Kerajaan Barat… malahan, dia bahkan mungkin sudah berada di ibu kota
sekarang.”
Aku merasa seperti akan meledak. Akhirnya, surat itu terkirim!
Dan lagi…
Sudah terlambat. Imam Besar datang dan
wawancara berakhir. Pengadilan perceraian akan segera digelar. Raja Heinley
tidak akan bisa
sampai ke sini tepat waktu.
Catatan:
[1] Maksudnya hubungan
Navier dan Sovieshu pada akhirnya akan berakhir/runtuh.
[2] Posisi Navier saat ini seperti ‘orang lewat’ yang datang untuk sementara dan akan segera pergi/berlalu.
<<<
>>>
===
///////////
Baca Juga:
Pembuat Onar di Keluarga Count (Ep. 43 - 45) / Trash of the Count’s Family (Ch. 37)
No comments:
Post a Comment