Chapter 305: Keputusan Viscountess Verdi (2)
Penerjemah: Shira
Ulwiya
Saat tubuh kecilnya
menggapai-gapai di dalam pelukannya, Rashta merasakan sebuah emosi naik ke
dadanya.
Dia telah melahirkan
dua kali, tetapi ini adalah pertama kalinya dia menggendong bayi di pelukannya
seperti ini.
Mungkin itu sebabnya
dia merasa sangat aneh, meskipun dia menyukainya.
"Bayinya
menggeliat."
Ketika Rashta
bergumam, bayi itu berkedip dengan mata berlinang air mata saat dia melihat
Rashta.
Pada saat itu, Rashta
menyadari. Dia tidak pernah bisa menyalahkan bayi perempuan ini.
Dia mencintai
putrinya.
Begitu dia menyadari
fakta ini, kekosongan dan kelemahan yang dia rasakan sebelumnya menghilang. Dia
bertekad untuk melindungi putrinya.
'Ya. Aku harus kuat.’
Ini bukan waktunya
untuk berdiam diri. Jika dia diusir dari posisi permaisuri, putrinya akan
dibesarkan oleh wanita lain.
Seorang wanita muda
yang cerdas dan cerdik dari keluarga yang baik akan menjadi Permaisuri.
Tidak peduli permaisuri
baru itu sebaik malaikat, anak-anak mereka pasti akan dibandingkan, keluarga dari
ibu permaisuri itu, dan bahkan orang-orang di sekitarnya, akan menolak sang putri
pertama.
Bahkan jika para
bangsawan memandang rendah dirinya, dia bertekad untuk mempertahankan posisinya
sebagai permaisuri. Hanya dengan cara ini dia bisa melindungi putrinya.
Pada titik ini,
tangisan sang putri berhenti. Mungkin karena bayinya berada dalam gendongan
ibunya atau karena ia berada dalam posisi yang lebih nyaman.
Bagaimanapun,
vitalitas intens yang bisa dirasakan di seluruh tubuh sang putri berkurang
drastis saat dia tenang. Dia tampak lesu.
Rashta menatap ngeri
pada sang putri dengan kepala tertunduk. Tiba-tiba merasakan sensasi yang sama
dari masa lalu ketika dia menggendong bayi yang sudah mati di pelukannya.
Pada kengerian
mengerikan yang melanda dirinya dari kepala hingga kaki, Rashta tersentak dan
membuang bayi itu,
"Pergi! Menjauh
dari pandanganku!”
Setelah melempar
bayinya, Rashta gemetar sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Dia
merasa ada bau mayat yang memuakkan di lengannya, jadi dia buru-buru
mengusapkan kedua lengannya ke lutut dan seprai untuk menghilangkannya.
"Putri!"
Bayi yang terlempar ke
lantai itu menangis tersedu-sedu. Baru saat itulah Rashta sedikit tenang dan bertanya
dengan tatapan kosong.
"Apakah dia,
apakah dia hidup?"
Viscountess Verdi teringat
Delise sejenak, yang lidahnya dipotong Rashta dan dipenjarakan setelah dia
melihat sesuatu yang 'tidak seharusnya dia lihat', dan pelayan yang ayahnya
hampir dieksekusi karena terlalu banyak bicara.
Memikirkan apa yang
baru saja dilakukan Rashta, Viscountess Verdi menelan ludah.
"Apakah dia
hidup?"
Rashta bertanya lagi
dengan suara kasar.
Viscountess Verdi tahu
apa yang akan terjadi. Dia telah menyaksikan adegan ' yang tidak seharusnya dia
lihat', jadi Rashta akan mencoba membunuhnya. Rashta sekarang tertegun, tetapi
tidak diragukan lagi akan melakukannya begitu dia sadar.
Viscountess melangkah
mundur, menggendong bayi itu dengan erat.
“Viscountess? Apa kamu
tidak mendengarku? Apakah bayinya hidup?”
Rashta bertanya dengan
bingung.
Viscountess Verdi
nyaris tidak berhasil membuka mulutnya untuk mengucapkan beberapa patah kata.
“Bayinya… terlihat kaget.
Tolong tunggu sebentar. Saya akan pergi memeriksakannya.”
Dia berbicara pelan,
agar tidak membuat jengkel Rashta, mundur selangkah lagi, dan bergegas keluar
dari kamar.
Kemudian dia
meninggalkan ruang tamu dan berlari menyusuri koridor.
Dia takut para kesatria
dan pelayan di bawah komando Rashta akan mengejarnya kapan saja, jadi
Viscountess dengan putus asa berlari ke Istana Timur dengan bayi di pelukannya.
Ketika Rashta akhirnya
sadar dari keterkejutan yang disebabkan oleh bayinya yang mati, dia menyadari
bahwa Viscountess Verdi telah pergi ke suatu tempat bersama sang putri. Dia
juga menyadari bahwa Viscountess Verdi telah melihatnya melemparkan bayinya ke
lantai.
"Oh, tidak!"
Rashta bergegas keluar
ke koridor dan bertanya pada salah satu kesatria yang ditempatkan di pintu.
“Dan Viscountess
Verdi? Kemana perginya Viscountess dengan bayiku?”
Kesatria itu menanggapi
dengan tatapan bingung.
"Dia lari ke arah
sana dengan bayi di pelukannya."
Rashta berubah pucat dan
memerintahkan,
“Tangkap jalang itu!
Sekarang juga! Si jalang itu telah menculik putriku!”
Para kesatria terkejut
sejenak dan saling memandang.
Mereka menganggap
tidak masuk akal bahwa satu-satunya dayang Permaisuri menculik Putri di Istana
Kekaisaran.
Tapi dari mata merah
dan wajahnya yang pucat, sepertinya itu bukan lelucon.
Para kesatria mengejar
Viscountess dengan tergesa-gesa. Namun, Viscountess Verdi sudah tiba di Istana
Timur.
Kesatria Keluarga
Kerajaan datang membantunya saat mereka melihatnya berlari ketakutan.
"Apa yang terjadi?"
"Yang Mulia, saya
perlu menemui Yang Mulia."
Viscountess Verdi
memohon dengan putus asa.
Dia memasang ekspresi
ketakutan, jadi Kesatria Pengawal Kekaisaran segera memberi tahu Sovieshu.
Mendengar bahwa
Viscountess Verdi datang dengan sang putri di pelukannya, Sovieshu membiarkannya
masuk ke ruang tamu.
Begitu Viscountess
Verdi melihat Sovieshu, dia berlutut dan berteriak sambil menangis,
“Yang Mulia,
Permaisuri melemparkan sang putri ke lantai! Tolong lindungi sang putri!”
***
Dokter istana pelan
membuka mulutnya, tetapi kemudian berbicara dengan cepat.
"Hamil! Anda
hamil!"
Dia mengulangi
kata-kata ini beberapa kali, tidak mampu menahan keterkejutannya.
Kemudian dia melompat
berdiri dan menatapku dengan mata membelalak.
"Permaisuri!
Astaga! Astaga! Astaga!"
Aku menatap dokter
istana dengan keheranan.
Aku tidak bisa
memikirkan apa pun, seolah-olah pikiranku kosong.
Melihatnya dengan
bingung, dokter istana terbatuk dan tersenyum canggung,
"Selamat,
Permaisuri sedang hamil!"
Heinley mengepalkan
satu tangan dan menutup mulutnya dengan tangan lainnya.
Aku bisa melihat bagaimana
tinjunya sedikit gemetar.
Heinley, yang tetap diam
seolah-olah tidak ada di sana, tiba-tiba menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Ketika dia melepaskan
tangannya dari mulutnya, aku melihatnya menggigit bibirnya.
“Ratuku.”
Heinley memanggilku
dengan suara gemetar, mengulurkan tangannya dan memelukku erat-erat.
"Apa kamu yakin?
Bukankah ada kemungkinan kesalahan diagnosis yang tinggi pada minggu-minggu
awal kehamilan?”
Namun, begitu aku
bertanya kepada dokter istana dengan tegas, lengan Heinley menjadi lemas.
Dokter istana dengan
cepat menjawab pertanyaanku,
“Tentu saja, salah
mendiagnosis pada waktu ini adalah hal yang biasa. Tapi Yang Mulia, saya tidak
pernah salah dalam hal ini.”
Ketika aku berada di
Kekaisaran Timur aku menyaksikan beberapa kesalahan diagnosis 'tentang ini',
jadi aku lebih memilih untuk tidak menerimanya begitu saja,
"Kapan kita bisa
tahu pasti?"
"Dalam dua minggu
itu bisa diketahui secara pasti."
"Oke, periksa aku
lagi kalau begitu."
Aku meminta dokter
istana untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ini, dan sang dokter dalam
kegembiraannya, berkata dengan enggan bahwa dia mengerti.
"Tapi sampai saat
itu, Anda harus mengurangi beban kerja Anda dan mengambil lebih banyak waktu untuk
beristirahat, Yang Mulia."
Setelah dokter istana
pergi, aku juga meminta pada Heinley,
“Heinley, jangan beri
tahu siapa pun tentang ini. Ada orang-orang yang akan mengolok-olok kita karena
mengungkapkan kalau aku hamil tanpa terlebih dahulu mengonfirmasinya.”
Itu aneh. Meskipun aku
berbicara dengan tenang seperti biasa, suara yang keluar terdengar gemetar.
Mengapa?
Itu tetap sama bahkan
setelah aku batuk beberapa kali lantas berbicara lagi. Saat aku menggigit bibir
dalam kebingungan, tiba-tiba aku merasakan kesemutan yang aneh di sekujur
tubuhku.
Belakangan aku bisa
mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku takut dan cemas.
Bagaimana jika dokter
mengatakan itu salah diagnosis? Ketika pikiran itu muncul di benakku, seluruh
tubuhku bergidik.
Aku menggosok-gosokkan
kedua tanganku dengan gugup dan melingkarkan lenganku di tubuhku, tetapi
perasaan itu tidak hilang.
Kemudian Heinley
memelukku.
***
[Baca Remarried
Empress Bahasa Indonesia di https://shiraulwiya.blogspot.com/]
Diterjemahkan dari https://novelutopia.com/
<<<
>>>
===
No comments:
Post a Comment