Sangat
penting bagi siapapun yang ingin belajar bahasa Inggris atau bahasa lainnya
untuk mengenal terlebih dahulu hakikat belajar bahasa itu sendiri. Hakikat
belajar yang saya maksud di sini adalah alasan dan tujuan utama kita belajar bahasa.
Kenapa kita belajar bahasa? Karena kita membutuhkan suatu alat yang dapat
membantu kita berkomunikasi dengan orang lain. Lalu, untuk apa kita belajar
bahasa? Agar kita bisa berkomunikasi dengan orang lain tentunya. (Apa Anda bisa
melihat apa yang saya maksud di sini; ^_^. Kalau belum, mari telusuri lebih
lanjut tulisan ini!)
“Bahasa adalah alat komunikasi!!!”, saya
ingin Anda menanamkan kalimat ini baik-baik di benak Anda; tidak kurang, tidak
lebih. Tujuan atau hasil akhir yang ingin dicapai oleh seseorang yang belajar
bahasa apapun (termasuk bahasa ibu kita sendiri) adalah untuk bisa
berkomunikasi dengan orang lain; menyampaikan keinginan, pendapat, ide/pikiran
atau sekedar mengungkapkan apa yang sedang kita rasakan pada orang lain.
Contoh
kecil saja, dengan belajar berbahasa, bayi tidak perlu lagi bersusah payah
berteriak atau menangis ketika dia membutuhkan sesuatu. Di samping tangisan
bayi bisa bermakna ambigu -bayi bisa saja menangis karena lapar, mengantuk atau
merasa tidak nyaman yang di mana sulit bagi orang dewasa untuk memahami arti
tangisan mana yang dimaksud si bayi- menangis juga menguras energi si bayi itu
sendiri. Akan lebih mudah, simpel dan praktis apabila si bayi bisa bicara
(berbahasa).
Menurut
Anda, berapa katakah yang harus dikuasai si bayi jika dia ingin minta susu atau
makan misalnya? 10? 20? 50? Yap, betul sekali! Bayi itu hanya membutuhkan satu
kata sederhana saja, yakni “mimik” atau “ma’em”. Bahkan meski bayi tersebut belum terlalu
mampu melafalkan kata barunya dengan benar dan jelas, orang dewasa tetap bisa
memahaminya dan segera saja si bayi bisa mendapatkan apa yang diinginkannya
tanpa perlu menguras energi dan air matanya untuk menangis.
Dengan
hanya belajar mengucapkan satu kata saja –mimik atau maem-, si bayi akan selalu
mendapatkan makanannya kapanpun dia membutuhkan. Untuk hal seperti ini, dia tidak perlu belajar
mengucapkan satu kalimat penuh, seperti “Mama, saya ingin makan/minum”, agar si
ibu memahami keinginannya. Apalagi jika dia harus belajar tata bahasa –predikat
ditempatkan di belakang subjek baru kemudian diikuti objek jika kata kerjanya
transitif dan bla bla bla…….. Jika bayi diharuskan mempelajari semua ini agar
bisa berkomunikasi dengan ibunya, maka butuh berapa bulan/tahun baginya untuk
sekedar minta makan? ^_^
Sepatutnyalah
kita mengikuti bagaimana cara si bayi belajar bahasa untuk mengkomunikasikan
dirinya dengan orang lain. Tapi, boro-boro!!!! Kebanyakan dari kita malah
menganggap belajar bahasa tidak lebih seperti “menabung”. Kita menumpuk
kosakata dan aturan tata bahasa sebanyak-banyaknya. Kita terus
“memasukkan” tanpa pernah menggunakannya. Seperti saat menabung uang, kita berpikir akan
menggunakan semua kosakata dan aturan bahasa yang kita kumpulkan itu jika merasa "tabungan" kita sudah cukup. Akan tetapi,
kapankah itu? Kapankah kita
akan merasa cukup dan siap memanfaatkan “tabungan bahasa” kita tersebut?
Lucunya,
yang seringkali terjadi malah ketika kita dituntut atau berada dalam situasi yang mengharuskan kita mengeluarkan isi “tabungan bahasa” kita itu, misalnya untuk berbicara (speaking), kita malah bingung bagaimana cara "mengeluarkannya" (memanfaatkannya). Kita jadi tidak percaya diri karena sebelumnya kita belum pernah –minimal- berlatih
menarik kata-kata dari “atm memori” di pikiran kita. Kita tidak tahu kata-kata apa yang harus kita gunakan saat itu, kita tidak tahu apakah kata-kata tersebut telah tersusun dalam urutan
yang benar atau tidak, serta
beberapa hal lainnya yang hanya dapat kita lakukan dengan berlatih “mencairkan tabungan” (baca: praktek berbicara) sebelumnya. Alhasil, karena bingung, kita akhirnya tidak pernah menggunakan kata-kata yang sudah susah payah kita kumpulkan. Jika toh pada akhirnya kita tetap tidak bisa mengambil
manfaat dari apa yang sudah kita tabung
dari hasil kerja keras (baca: belajar) kita selama ini, lalu buat apa kita “menabung”?.
No comments:
Post a Comment