Friday, March 5, 2021

Trash of the Count’s Family (#25)

 


Pembuat Onar di Keluarga Count

Chapter 25: Balas Budi (5)


Larut malam di sebuah rumah kecil berlantai dua di pinggiran Kota Puzzle. Satu-satunya cahaya di area itu berasal dari lampu di lantai pertama rumah kecil ini, yang memancar keluar melalui jendela. Putra sulung Marquis Stan, Taylor, pemilik rumah itu, mengerutkan kening.

“Apa yang terjadi?”

“Sial. Ugh. Sebentar. Jangan ajak aku bicara sekarang.”

Cage, pendeta wanita Dewa Kematian, mencengkeram kepalanya dengan kesakitan.

Klang.

Cangkir bir di tangannya jatuh ke lantai. Taylor dan tiga bawahannya segera menghampiri Cage.

“Kenapa? Apa dewa mengatakan sesuatu kepadamu lagi?”

Taylor memandanginya dengan prihatin. Dewa Kematian berbicara kepada Cage dari waktu ke waktu. Ini terjadi suatu hari dan kadang-kadang muncul seperti ini. Cage menyembunyikan hal ini dari gereja, dan hanya Taylor dan ketiga bawahannya yang tahu tentang ini.

“Ah, menyebalkan sekali!”

Setelah bergumul untuk beberapa saat, Cage melompat berdiri dan keluar ke pintu belakang rumah itu. Dia berjalan dengan tergesa-gesa. Dia masih mencengkeram kepalanya dan sedikit terhuyung, tapi tatapannya tetap fokus pada pintu belakang.

Taylor menyuruh bawahannya agar tetap diam di tempatnya lantas mendorong kursi rodanya dan menyusul Cage.

‘Apa seseorang menyelinap masuk?’

Rumah itu mungkin kecil, tapi ada banyak alarm sihir terpasang di sana-sini. Taylor terlalu paranoid untuk tidur tanpa alarm-alarm ini gara-gara adik laki-lakinya.

Setelah kedua lututnya dihancurkan oleh seorang pembunuh bayaran di kamarnya sendiri di kediaman Marquis, tidak ada lagi tempat yang Taylor anggap aman.

“Cage. Apa yang terjadi?”

“Tunggu.”

Brak!

Cage membanting pintu terbuka.

Taylor hanya dapat melihat sebuah halaman belakang yang lengang. Tenang dan sunyi, seperti biasa. Beberapa lampu menerangi taman itu, menjadikannya area paling terang di rumah itu.

Cage buru-buru ke halaman belakang dan Taylor mengikuti di belakangnya. Cage berjalan hingga pagar pembatas rumah dan terperanjat.

“Ha!”

Tempat ini terletak tepat di luar jangkauan alarm. Di atas pagar itu tampak sebuah menara batu kecil yang tersusun dari lima batu kecil.

Menara batu itu cukup besar untuk ditemukan seorang kesatria yang tinggal di rumah ini ketika dia berpatroli nantinya.

“…Sialan. Ini beneran.”

Kata-kata kasar keluar dari mulut Cage. Taylor tiba di samping Cage dengan kursi rodanya dan melihat menara batu di atas pagar dengan kebingungan.

“Apa ini?”

Mendengar pertanyaan Taylor, Cage membaca pesan yang ditulis dengan kapur di sebelah menara batu.

“’Hancurkan ini jika kamu ingin harapanmu dikabulkan.’ Begitu katanya.”

Rasa bingung dan penasaran keduanya memenuhi wajah Taylor bergantian. Cage mendesah melihat Taylor dan menekan pelipisnya dengan jarinya.

“Aku menyarankan kamu menghancurkannya. Tidak, ini kedengarannya gila, tapi dewa menyuruh untuk menghancurkannya.”

“…Apa?”

“Ini pertama kalinya dewa mengatakan sesuatu yang bukan omong kosong. Kenapa dia banyak sekali bicara belakangan ini? Dia biasanya bicara kepadaku mungkin sekali setahun.”

“Apa hubungannya dengan menara batu ini?”

Cage menoleh untuk membuat kontak mata dengan Taylor.

“Titik balik kehidupan kita. Itu yang dikatakannya.”

Dewa Kematian hanya datang kepada Cage ketika dia sedang tidur. Tidur tidak jauh berbeda dengan kematian. Itu sebabnya mengapa tidur merupakan semacam jalan bagi Dewa Kematian. Akan tetapi, kali ini, dia mendengar dewanya ketika dia sedang minum-minum.

Cage beranggapan Dewa Kematian marah padanya karena terlalu banyak minum bir. Itu sebabnya dia menyambut pesannya. Dia ingin agar dewa ini berhenti menaruh perhatian padanya. Akan tetapi, Dewa Kematian memiliki pesan yang berbeda untuknya.

“’Keputusannya ada di tanganmu. ‘Tapi, jangan hancurkan jika kamu ingin hidup damai.’ Begitu katanya.”

Dia memandangi menara batu itu. Ada sesuatu di bawahnya.    

“Ada sebuah surat di bawah menara batu ini. Kurasa mereka menumpuk menara batu ini demi surat itu.”

Dia menoleh untuk melihat sahabatnya, Taylor. Taylor harus mendongak dari kursi rodanya, jadi, meskipun dia bisa melihat menara batu itu, dia tidak dapat melihat surat di bawahnya.

“Aku tidak merasakan kekuatan aneh menyelubungi menara batu ini.”

Meskipun dia tidak sepeka mage*, menggunakan kekuatan dewa membuat Cage lumayan peka dan intuitif terhadap lingkungan sekitarnya. Dia akan bisa merasakan jika ada kutukan atau energi negatif yang menyelimuti sebuah benda atau tempat. Dia, bagaimanapun juga, adalah pelayan Dewa Kematian.     

Dia menunggu jawaban Taylor.

Taylor menatap langit malam, lantas perlahan berpaling untuk melihat Cage.

“Hancurkan.”

Cage serta merta meninju menara batu di depannya.

Buk. Buk. Buk.

Batu-batu di atas pagar itu berjatuhan. Taylor melihatnya dengan tatapan kosong.

‘Jangan hancurkan jika aku ingin hidup damai?’

Taylor tidak pernah hidup dengan damai. Dia juga tidak ada keinginan untuk bisa hidup damai. Dia mencari cara untuk menyembuhkan kakinya dan terus berusaha. Kemudian-

‘Aku akan memporak-porandakan keluarga terkutukku ini.’

Taylor menjulurkan tangannya dan Cage menyodorkannya amplop itu. Taylor segera membuka amplop itu dan menemukan bahwa surat itu ditulis dengan sihir untuk mencegah orang-orang agar tidak bisa mengenali tulisan tangan si pengirim. Bangsawan sering menggunakan alat ini.

Taylor membuka surat itu tanpa sedikit pun keraguan. Dua baris pertama dari surat itu, yang terlihat melalui sorot lampu-lampu di halaman, segera menarik perhatiannya.

[Putra mahkota memiliki sebuah kekuatan kuno. Disebut dengan ‘Bintang Penyembuhan’, dan tidak berguna baginya. Itu adalah kekuatan sekali-pakai yang dapat menyembuhkan segala jenis luka.]

[Dia sedang berusaha menukarnya dengan siasat untuk menahan pangeran kedua dan pangeran ketiga.]

Tangan Taylor gemetar.

“Apa yang terjadi?”

Cage mematung setelah melihat ekspresi Taylor dan tangannya yang gemetar. Namun, dia segera menjadi tenang.

“Ha!”

Itu karena Taylor tertawa. Dia lalu menyodorkan surat itu kepada Cage.

“Ini akan benar-benar menjadi titik balik kehidupan kita.”

“Apa yang sedang kamu bicarakan?”

Cage mengambil surat dari Taylor dan membacanya. Dia berhenti sejenak setelah membaca tentang kekuatan kuno dan Putra Mahkota, lalu meneruskan membaca sisanya. Kepalanya tersentak setelah membaca bagian bawah surat itu.

[Kakimu mungkin tidak dapat bergerak, tapi kepala, lengan, mata dan mulutmu bisa. Bagian tubuhmu yang lain masih sangat hidup.]

[Keputusan ada di tanganmu, Taylor Stan, putra sulung Marquis Stan.]

Taylor menatap ke arah kegelapan di pojok halaman lantas berkata.

“Cage.”

“Ya?”

“Mari serahkan tempat ini kepada kepala pelayan, dan menuju ke ibu kota untuk sekarang.”

“Oke.”

Dia memutuskan untuk mengikuti keputusan Taylor. Dia adalah seseorang yang telah mengalami kematian lebih sering daripada orang lain karena dia adalah pendeta Dewa Kematian, sehingga menjadikannya sangat menghargai kehidupan.

“Aku yakin Taylor yang cerdas akan mengurus semuanya. Kamu cukup mahir melakukannya.”

Cage mempercayai pemikiran dan kemampuan Taylor.

“Kamu benar. Aku dulunya cukup mahir.”

‘Dulunya.’ Cage memandangi Taylor setelah mendengarnya menggunakan kalimat bentuk lampau.

“Aku harusnya tahu bagaimana menjaga diriku sendiri.”

Sayangnya, kaki Taylor cedera karena dia tidak menjaga dirinya sendiri dengan baik dengan membiarkan dirinya lengah.

Taylor mengangkat kepalanya untuk melihat rumah kecil berlantai dua itu. Dia telah cukup frustasi berada di sini selama beberapa bulan terakhir mengikuti petunjuk yang dia bahkan tidak tahu benar atau tidak. Daripada meneruskan upaya yang sia-sia ini, akan lebih baik untuk pergi sementara waktu.

Setidaknya Dewa Kematian tidak berbohong. Taylor saat ini membutuhkan sebuah titik balik. Dia lantas berujar.

“Jika Putra Mahkota, maka kita perlu menyesuaikan waktunya dengan acara kerajaan. Kita harus bergegas.”

“Baiklah. Ayo bergegas.”

 “Apa tidak apa-apa? Kita akan bertemu dengan orang-orang dari kuil jika kita pergi ke ibu kota.”

“Memangnya apa yang bisa mereka perbuat? Mengusirku? Itu justru bagus. Aku hanya mencemaskanmu.”

“Terima kasih.”

“Tidak perlu.”

Mereka tersenyum satu sama lain dan berbicara bersamaan, saat Cage mengangkat surat itu.

“Si penyelamat.”

Yah, mereka tidak bisa memastikan apakah orang ini adalah penyelamat meraka atau bukan, tapi mereka berdua punya firasat bahwa penulis surat ini adalah penyelamat mereka. Itu berarti bahwa, mereka perlu mencari penyelamat ini dan membalas budi.

Dua pasang mata bertemu, yang tampak jernih dan tanpa ada bekas minum-minum dari beberapa saat yang lalu, diam-diam menatap surat itu. Itu adalah tatapan dari orang yang telah menemukan titik balik kehidupan mereka.

Kucing merah yang mengamati semua ini dari atap sebuah rumah berbisik kepada kakak perempuannya, On.

“Noona, kita sekarang bisa pulang, kan?”

“Ya. Kita sudah melakukan tugas kita. Ayo kita makan daging.”

“Woohoo!”

Kedua anak kucing itu melompat dari atap ke atap dan kembali ke rumah mereka.


***


Keesokan harinya, Cale berdiri dengan kedua tangan bersedekap dan wajah masam. Tatapannya memandangi seseorang di depannya dari atas ke bawah.

Pakaian yang Cale kenakan bahkan lebih mencolok dan mewah daripada biasanya.

‘Tuan muda! Bahkan jika saya, Hans, tidak di sana, bagaimana Anda bisa berguling-guling di atas gunung?’

‘Saya, Wakil Kapten, yang harusnya menemani Anda!’

‘Aigoo**, tuan muda. Ron ini jadi sangat sedih.’

Cale terpaksa memakai pakaian mencolok karena dia merasa kesal dengan tatapan yang dia terima setelah pulang dalam keadaan berantakan akibat merangkak melewati gua. Pakaian mewah yang dia kenakan tampak serasi dengan rambut merah cerahnya. Cale sudah pasti tidak kalah dalam hal tampang.

Tapi ada alasan lain mengapa Cale terlihat jengkel saat ini.

“Kamu akan pergi seperti itu?”

Mereka sedang berdiri di depan penginapan. Cale berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada dan menatap Choi Han. Choi Han hanya membawa sebuah kantong kecil dan sebilah pedang.

“Ya.”

Tidak ada acara jamuan atau pesta perpisahan spesial untuk Choi Han yang akan pergi. Baik Cale maupun Choi Han tidak menginginkan sesuatu seperti itu.

Itu sebabnya perpisahan ini juga cukup sederhana.

Cale, dua anak kucing, Hans, Ron, Beacrox dan Wakil Kapten. Hanya mereka. Kehadiran Wakil Kapten di sana sedikit janggal, tapi dia berdiri di sana dengan tampang masam seperti Cale saat dia mengucapkan selamat jalan.

“Haaahhh.”

Cale mendesah lantas mengeluarkan sebuah kantong kecil dari sakunya dan melemparkannya ke Choi Han. Choi Han menangkapnya dengan mudah. Dia mengenali kantong itu. ukurannya sama dengan kantong yang Cale berikan ke Naga Hitam. Choi Han membuka kantong itu dan menemukan ramuan obat serta benda-benda berguna lain di dalamnya. Choi Han mengangkat kepalanya dan melihat Cale. Cale berbicara dengan ketus saat mereka membuat kontak mata.

“Apa? Kamu mau apa? Buang saja kalau kamu tidak mau.”

Choi Han tidak mengatakan apapun, tapi Cale mengucapkan apapun yang dia inginkan. Dia lantas berbalik dan berjalan masuk ke kamarnya.

“Selamat jalan.”

Ekspresi Cale datar saat dia berbalik setelah mengucapkan selamat jalan. Tidak ada alasan lagi untuk bertemu Choi Han. Yah, setidaknya, satu kali lagi. Mereka akan bertemu lagi sesampainya di ibukota, sebelum dia mengirim Choi Han pergi dengan Ron dan Beacrox, dengan beberapa perintah. Setelah itu, dia berencana untuk tidak berhubungan dengan Choi Han sama sekali.

“Saya akan segera kembali.”

Respons Choi Han, yang terdengar sedikit gembira, membuat Cale merinding, tapi dia tidak menoleh ke belakang. Choi Han merasa sikap Cale yang tidak menoleh ke belakang itu memang sudah ciri khasnya. Tatapannya lalu berpaling ke anggota rombongan yang lain.

“Sampai jumpa di ibu kota!”

“Ahem. Aku akan berlatih agar aku bisa menjadi penjaga pribadi tuan muda saat kita di ibu kota nanti.”

Wakil Kepala Pelayan Hans mengucapkan salam perpisahan dengan ceria, sedangkan Wakil Kapten merespons dengan suara yang sangat kesal.

“Aku akan menjaga pedangku tetap tajam.”

“Sampai jumpa nanti.”

Beacrox dan Ron juga mengucapkan salam perpisahan. Tentu saja, kedua anak kucing itu menepuk kaki Choi Han dengan cakar mereka sebagai salam perpisahan.

Akhirnya, si Naga Hitam, yang selama ini menggunakan sihir menghilangnya untuk berada di halaman saat siang hari dan berbaring di jendela Cale saat malam hari, mengirim mana tak terlihat kepada Choi Han.

“Aku sudah menerima banyak hal, tapi tampaknya aku terus yang menerima sesuatu.”

Choi Han menaruh kantong sihir ke dalam sakunya lantas tersenyum. Cale tidak dapat melihatnya karena dia sudah berbalik, tapi ini pertama kalinya anggota rombongannya melihat Choi Han tersenyum dengan cerah.

“Sampai bertemu di ibu kota.”

Choi Han berpamitan dengan hormat lantas berjalan keluar dari penginapan.

Seseorang sepertinya, yang telah menghabiskan puluhan tahun seorang diri yang bahkan terasa lebih buruk dari kematian, sekarang punya tempat untuk kembali. Dia juga memiliki orang-orang yang harus dia balas budinya.

‘Aku harus memastikan untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik.’

Choi Han berjalan menjauh dari Cale dan rombongan, dan keluar dari Kota Puzzle.


***


Keesokan harinya, rombongan Cale menaiki kereta kuda dan bersiap meninggalkan Kota Puzzle.

“Tuan muda, kami siap berangkat.”

“Oke.”

Cale menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Ron, dan Ron segera menutup jendela lantas memerintahkan kereta untuk mulai bergerak. Mereka memulai perjalanan mereka kembali.

“Apa yang kalian lihat?”

Cale menatap dua kucing bersaudara, yang terlihat gelisah sambil berusaha menghindari tatapan Cale. Dua anak kucing itu tersentak dan memalingkan pandangan mereka. Cale tersenyum.

“Ada apa? Apa kalian bertemu naga atau semacamnya?”

Akh. Cale mendengar kedua kucing itu terkesiap, namun mengabaikannya. Choi Han mungkin sudah pergi, tapi sekarang seekor naga tengah mengikuti mereka. Akan tetapi, dia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan hal itu.

Setelah satu hari perjalanan, mereka sekarang sedang bersiap untuk membuat kemah.

“Permisi, jika berkenan, sudikah Anda berbagi tempat berkemah Anda?”

Sebuah kereta kuda tiba di area tempat Cale berkemah, dan seseorang yang tampaknya si pengemudi turun dan menghampiri Wakil Kapten.

“Boleh saya tahu siapa Anda?”

Wakil Kapten bertanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya setelah melihat lambang ular merah di baju zirah si pengemudi. Pengemudi itu membungkukkan badan ke arah Wakil Kapten dan Cale yang berada di belakangnya dan memperkenalkan diri.

“Nama saya Tom, dan saya berasal dari kediaman Marquis Stan.”

‘Sial.’

Cale hampir mengatakannya keras-keras, saat dia melihat kereta kuda lusuh tanpa lambang keluarga. Jendela kereta itu terbuka dan Cale dapat melihat wajah Taylor Stan.

“Nama saya Taylor Stan. Saya melihat lambang keluarga Count Henituse, dan ingin meminta tolong, meskipun saya yakin ini bukan hal yang pantas.”

Jika tempat berkemah milik Count Henituse yang kuat, Taylor berpikir dia akan aman untuk malam itu. Tapi di mata Cale itu bukanlah sesuatu yang bagus.

Sekarang Cale telah bertemu dengan Taylor putra sulung Marquis Stan dan Cage si pendeta gila. Dia teringat naga yang mungkin saat ini sedang memburu celeng atau rusa lantas mengerutkan kening.

‘Sial.’

Satu pergi, malah tiga lainnya muncul.

 

___________________________


*Mage = penyihir. Untuk selanjutnya saya akan memakai kata ‘Mage’ seperti di versi Bahasa Inggrisnya.

** Aigoo = seruan dalam bahasa Korea yang biasanya digunakan saat merasa sedih, kesal, atau jengkel; sepadan dengan ‘Ya ampun’ dalam bahasa Indonesia.

 

***

Proofreader: Tsura

 

<<<

Chapter Sebelumnya                   

>>>             

Chapter Selanjutnya 

===

Daftar Isi  



 

Wednesday, March 3, 2021

Trash of the Count’s Family (#24)

 


Pembuat Onar di Keluarga Count

Chapter 24: Balas Budi (4)

 

Alih-alih menjawab, Naga Hitam itu perlahan merangkak kembali ke lorong kecil itu. Sementara Cale memandangi naga itu dengan rasa tidak percaya, dia dapat mendengar suara pelan yang menembus angin untuk menjangkau pendengarannya.

“…Aku…cuma lewat.”

“Ck.”

Punggung Naga Hitam itu tersentak begitu mendengar Cale mendecak lidahnya, tapi Cale tidak punya waktu memperhatikan naga itu. Angin di gua itu memiliki siklus 3 jam angin bertiup kencang dan 3 jam angin bertiup pelan. Ini adalah saat ketika tiupan angin itu mulai melemah. Tentu saja, anginnya akan semakin kencang semakin dia mendekat ke tengah.

Ssssshhhhhhhhhh.

“Agak menakutkan.”

Angin itu masih cukup kencang untuk disebut “fase pelan”. Novel itu menyebutkan bahwa orang tua berumur 150 tahun itu berjalan melewati angin kencang ini untuk mencapai menara batu.

Cale berpaling kembali ke tengah-tengah gua. Area bawah tanah yang luas. Di tengah-tengah angin puyuh terdapat menara batu setengah jadi. Tampaknya tidak ada angin yang bertiup di sana. Di samping menara batu setengah jadi itu berserakan banyak batu lainnya.

‘Aku harus menyusun semua batu itu.’

Masalahnya adalah bagaimana cara menuju ke menara itu. Menyusun batu-batu itu tidaklah sukar. Cale memeriksa sejenak perisai dan kedua sayap yang mengelilinginya, lantas maju satu langkah.

Tang. Tang. Angin kencang itu membentur perisai. Meskipun perisai perak itu transparan, bunyi benturannya seolah-olah angin itu sedang memukul-mukul perisai besi yang sebenarnya.

Bunyi itu membuat Naga Hitam yang tadinya berpaling perlahan-lahan menoleh untuk melihat Cale.

“…Tapi kamu kan lemah…”

Naga itu melihat Cale mengalami kesulitan, meskipun perisai dan sayapnya melindungi Cale. Angin yang tidak dapat dibendung oleh perisai dan sayapnya membuat pakaiannya berkibar - kibar. Angin yang menyusup melalui bagian bawah perisai membuatnya berhenti bergerak sesekali.

Namun, Cale terus melangkah maju langkah demi langkah. Kemudian naga itu melihatnya.

Cale tersenyum. Manusia ini, yang tidak ada apa-apanya dibandingkan angin puyuh kencang itu, manusia yang sama, yang lebih lemah dari dua anak kucing yang menyertainya, manusia yang paling lemah di antara semua orang yang mengiringinya, sedang tersenyum seraya merangsek maju melawan angin ini.

Naga itu tidak pernah melihat perisai perak seperti itu sebelumnya. Dia juga tidak pernah melihat sayap seperti itu. Naga itu melirik sayapnya sendiri. Sayap itu sangat berbeda dari sayap miliknya. Sayap itu sangat indah. Naga itu penasaran kekuatan apa yang dimiliki sayap itu.

Namun, naga itu tidak hanya memusatkan perhatian pada perisai atau sayap yang tampak keramat dan indah. Perhatiannya terpusat sepenuhnya pada Cale yang sedang tersenyum.

Dan sasaran pandangan itu, Cale, terus tersenyum.

‘Aku bisa melakukannya. Aku merasa nyaman.’

Angin itu sedikit membuatnya kesulitan dan memperlambat langkahnya, tapi sebenarnya itu angin sepoi-sepoi. Dibandingkan bagaimana Beacrox hampir terbunuh oleh Ron saat diajarkan seni berpedang, ini tidak ada apa-apanya.

Hal ini sekali lagi membuat Cale merasa mendapatkan sesuatu tanpa kerja keras adalah yang terbaik.

Tidak ada tekanan fisik maupun mental saat menggunakan Perisai Anti-Hancur. Akan ada sedikit tekanan jika perisai itu pecah, tapi saat ini tidak ada tanda-tanda perisai itu akan pecah.

‘Ia hanya terdorong ke belakang.’

Perisai itu sekadar terdorong ke belakang jika anginnya kencang. Sejujurnya, Cale telah menduga akan terdorong beberapa kali. Itu sebabnya dia mengurangi kekuatan perisai itu dan memperbesarnya selebar mungkin. Dia berencana memperkecil ukuran perisai itu perlahan-lahan setiap kali dia terdorong ke belakang.

Namun, perisai ini bekerja lebih baik dari yang Cale duga. Hal itu membuat Cale sedikit berbangga diri, tapi ketika dia hendak mencapai setengah jalan menuju pusat angin puyuh itu, dia harus mengesampingkan seluruh pikirannya.

Novel itu mengatakan kamu akan mendengar sebuah suara begitu kamu mendekati pusatnya. Suara itu harusnya milik seorang laki-laki tua.

Cale sedang menunggu suara itu. Angin puyuh itu seharusnya semakin kencang begitu suara itu muncul.

Aku menyesalinya.

Dia dapat mendengar suara itu. Tapi suara itu terdengar agak aneh.

Ahem, aku menyesalinya.

Itu adalah suara orang tua yang sedih.

“Ck ck.”

Cale berdecak lidah. Tidak satupun kekuatan kuno ini yang normal. Kenapa Taylor bisa berpikir suara orang tua ini terdengar tulus? Cale tidak dapat memahami jalan pikiran Taylor.

Namun, Cale berhenti mendecak lidahnya dan berhenti bergerak.

Wahai kamu yang memiliki kekuatan yang kukenal, aku berharap kamu tidak mendapat kekuatan ini.

“Hmm?”

‘Kamu yang memiliki kekuatan yang kukenal?’

Kalimat itu menarik perhatian Cale. Pada saat bersamaan, angin bertiup semakin kencang dan menyapu area itu.

Tang. Tang. Tang. Angin semakin keras membentur perisai transparan, menimbulkan suara bising. Namun, ekspresi cemas Cale bukan karena angin itu. Rambutnya terus berkibar oleh angin.

‘Apa dia sedang membicarakan Perisai Anti-Hancur?’

Satu-satunya hal yang Cale dapat simpulkan tentang ‘kekuatan yang kukenal’ adalah Perisai Anti-Hancur. Suara itu tidak berkata seperti itu kepada Taylor di novel. Apakah pemilik kekuatan kuno ini mengenal pemilik Perisai Anti-Hancur? Berbagai pikiran terlintas di benak Cale pada saat bersamaan.

Namun, Cale tetap memilih maju ke depan untuk saat ini. Angin itu hanya akan semakin kencang jika dia menundanya lebih lama lagi.

Aku mengkhianati kawan-kawanku! Aku orang yang jahat! Ahem, aku bertahan hidup sendiri dan menua. Sungguh memalukan!?!    

Cale hanya dapat mendengar suara orang tua itu sesekali karena dia kesulitan maju selangkah demi selangkah.

Aku selalu berharap agar mereka semua bisa hidup kembali. Akan tetapi, itu adalah permohonan yang tidak bisa terwujud. Aku hanya bisa meratap dan menangis! Itu sebabnya aku tidak bisa menyelesaikan menara batuku.

“Menjengkelkan sekali.”

Cale merasa ratapan orang tua itu menjengkelkan. Apanya yang tulus, dia seakan-akan ingin mati. Itu adalah tipe yang Cale benci. Epikureanisme* jauh lebih baik.

Cale memusatkan tubuhnya setelah terdorong sedikit ke belakang, dan memberi kekuatan pada kakinya. Dia dapat mendengar lagi suara itu setelah berhasil maju satu langkah.

Kekuatan pemulihan ini tidak ada gunanya. Aku hanya mampu melindungi diriku sendiri. Kekuatan ini tidak berguna untuk hal lain. Aku orang yang tidak berguna!

Cale tidak menghiraukan ratapan orang tua itu yang terdengar di benaknya. Kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri justru yang terpenting bagi Cale. Siapa yang peduli jika itu membuatnya jadi orang tidak berguna. Semua itu tidak penting selama dia bisa hidup.

Tinggal lima langkah lagi. Pusat angin puyuh itu berada tepat di depannya.

Bum. Bum. Bum.

Suara angin yang berbenturan terdengar semakin keras. Seolah-olah seseorang sedang memukul-mukul perisainya.

‘Perisai itu mungkin akan hancur.’

Cale berpikir angin itu kini cukup kuat untuk bisa menghancurkan perisai itu. Kini angin itu bisa menimbulkan kerusakan dan tidak sekadar membuatnya terdorong ke belakang. Ketika Cale berpikir angin itu mungkin bisa memotongnya, dia menyadari sesuatu yang lain.

Aku tidak mati bahkan ketika angin menebasku bagai pedang yang tajam.

Dia menyadari bahwa pemilik kekuatan kuno ini semuanya sangat suka mengoceh.

Cale segera menggulung badannya dan memperkecil ukuran perisainya. Bum Bum. Ukuran perisai itu kini lebih kecil, tapi sebagai gantinya, ia jadi lebih kokoh. Ia mampu mendorong balik daya angin yang bahkan lebih kuat.

Cale menjulurkan tangan ke perisai transparan dan menggenggam pegangan transparan di dalam perisai lantas terus bergerak maju.

Satu langkah.

Pemulihan adalah kekuatan terkutuk.

Dua langkah.

Jantungku selalu berdetak. Tapi aku tidak bisa bergerak maju.

Tiga langkah.

Itu karena aku takut mati.

Empat langkah.

Aku takut pada rasa sakit karena aku selalu terluka, dan aku bahkan lebih takut mati, akhir dari rasa sakit itu.

Dan akhirnya.

Cale mengambil langkah terakhir.

Ssssshhhhhhhhh-

Di dalam area tanpa angin terdengar seperti suara hujan jatuh di sekeliling Cale. Pusat angin badai. Angin mengerubungi area di luar pusat badai yang tenang ini. Dia dapat mendengar suara orang tua itu di antara suara angin.

Aku memilih membuang yang lainnya agar aku bisa terus hidup.

Itu adalah hal terakhir yang diucapkan orang tua itu.

“Ck.”

‘Siapa peduli dengan yang lainnya? Bertahan hidup itu adalah prioritas.’

Orang tua ini banyak mengatakan hal-hal yang tidak berguna. Cale berdecak lidah dan mengembalikan perisai itu ke jantungnya. Cahaya perak yang mengelilinginya seketika lenyap.

Dia berjalan menuju menara batu setengah jadi dan berjongkok di depannya.

Itu adalah menara batu biasa yang bisa kamu temukan di puncak gunung.

Akan tetapi, semua batu ini berwarna hitam. Sama seperti pohon pemakan-manusia, batu-batu ini yang telah ada sejak masa kuno berbeda dari batu pada umumnya. Begitu juga angin yang mengelilingi tempat ini.

“Terserahlah.”

Cale, yang sedari tadi berpikir bagaimana menyusunnya agar terlihat menarik, berubah pikiran. Itu akan terlalu merepotkan. Dia mengeluarkan sepasang sarung tangan dari sakunya dan memakainya lantas memungut beberapa batu dan menumpuknya di atas menara batu itu.

Klak. Klak. Klak. Dia menumpuk batu-batu itu, satu demi satu.

Tidak butuh waktu lama. Bahkan Taylor menyelesaikan bagian ini dengan cukup mudah. Akan tetapi, Cage, yang tidak mendekati area pusat dan sebagai gantinya menunggu di luar pusat badai, lumayan kesusahan. Area pusat ini, sama seperti kekuatan kuno lainnya, adalah tempat yang hanya bisa dimasuki seorang diri.

“Ini gampang.”

Cale memungut batu hitam terakhir dan perlahan menaruhnya di atas menara batu. Pada saat itulah.

Flash! Cahaya memancar dari batu-batu itu.

Batu-batu berwarna hitam itu perlahan-lahan berubah putih. Pada saat yang sama, Cale berdiri dan melihat sekelilingnya.

Pusaran angin itu berangsur-angsur menghilang.

“…Hah?”

Cale tidak menghiraukan suara kebingungan si naga dan menunggu sampai seluruh pusaran angin menghilang. Dia lalu menyilangkan kedua lengannya dan mendengarkan suara orang tua itu. Dia tidak punya pilihan.   

Aku mencoba bertarung bersama mereka. Akan tetapi, aku tidak tahu bahwa aku sangat lemah terhadap rasa sakit. Mereka bukanlah orang-orang yang melayani dewa. Aku baru menyadarinya setelah kami semua berpisah jalan dan aku berakhir sendirian.

Kata-kata lelaki tua itu menarik perhatian Cale. Dia lalu teringat perkataan pemilik Perisai Anti-Hancur.

‘Orang-orang di Hutan Kegelapan yang menyebut diri mereka pelayan dewa hanya memberiku makanan yang sangat buruk.’

Dia mendapat firasat buruk kalau dia telah mengetahui sesuatu yang harusnya tidak dia ketahui.

Ada perasaan ganjil bahwa hal-hal yang baru saja dia dengar adalah hal-hal yang harusnya tidak dia beritahukan kepada orang lain selama hidupnya.

Cale semakin mengerutkan dahi sementara orang tua itu terus berbicara. Suara itu hanya bisa didengar Cale, sehingga membuat si naga bimbang saat melihat Cale yang berdiri diam.

Aku menumpuk batu-batu. Aku menumpuknya berharap aku bisa mengembalikan waktu, berharap aku bisa bahagia. Tapi aku lalu menghancurkannya.

Aku membenci diriku yang egois karena memikirkan kebahagiaanku sendiri setelah mengkhianati kawan-kawanku dan melarikan diri.

“Haaah.”

Cale menghela napas panjang. Orang tua ini benar-benar membuat frustasi. Cale berbicara dengan jengkel.

“Menjadi egois memang watak alami manusia.”

Untuk sejenak suara orang tua itu tidak terdengar.

‘Apa sudah selesai?’

Cale tersenyum beranggapan bahwa orang tua itu akhirnya selesai berbicara. Akan tetapi, suara isakan itu kembali terdengar.

Ahem. Kakak perempuanku juga bilang begitu. Dia kakak perempuan yang luar biasa. Dia lebih dapat dipercaya dibanding siapapun. Ah, kakak perempuanku. Hiks!

…Orang tua itu menangis.

“Aku bisa gila.”

Pat. Pat. Pat. Cale mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya dengan tidak sabaran. Cale tidak ingin terus berdiri di sini seperti ini. Setelah menangis sejenak, orang tua itu menunjukkan rasa terima kasihnya.

Wahai kamu, yang memiliki kekuatan yang kukenal. Perangai tidak sopanmu mengingatkanku pada kakak laki-lakiku. Aku sangat iri melihat bagaimana tidak sopannya kamu.

Dan, akhirnya, orang tua itu mengucapkan kata-kata terakhirnya yang Cale sudah tunggu-tunggu. Ini adalah kata-kata terakhir yang sama yang orang tua itu katakan pada Taylor.

Hancurkan. Maka kamu akan melewati batasan-batasanmu.

Cale tersenyum dan seketika itu juga menendang menara batu tanpa ragu.

Dak. Bruk. Bam!

Batu-batu putih beterbangan jatuh ke lantai dan dinding. Naga yang sejak tadi mengawasi Cale terkesiap dan menatap Cale seolah-olah dia tidak waras. Akan tetapi, yang terjadi selanjutnya membuat naga itu terperanjat.

“Wow.”

Menara batu yang hancur itu.

Sebuah cahaya putih muncul dari bawah menara batu itu.

Ooooooooong.

Cale dapat merasakan getaran lembut yang merambat di sepanjang gua di bawah kakinya. Pada saat itu, cahaya itu melesat ke arah Cale.

Cale menjulurkan tangannya untuk meraih cahaya itu. Begitu dia meraihnya, cahaya itu melesat menuju jantung Cale bagaikan sebuah anak panah. Anak panah dari cahaya itu menembus ke dalam jantung Cale lalu berkilau dan menghilang.

“Huuuu.”

Cale menghela napas panjang. Dia lalu menundukkan kepalanya untuk melihat ke bawah bajunya. Tato fantastis dari perisai yang tergambar di dadanya lenyap dan digantikan dengan sebuah gambar hati berwarna merah.

Cale dapat langsung merasakan daya hidup baru di dalam tubuhnya. Daya hidup dari ‘Vitalitas Jantung’ ini akan menjadikan perisai itu semakin kuat. Dia juga akan bisa memulihkan diri jauh lebih cepat daripada orang biasa, bahkan ketika dia terluka.

Tidak seperti perisai itu, yang merupakan kekuatan super, ini lebih seperti bagian dari kekuatan fisik tubuh manusia. Kekuatan pemulihan ini sangat kuat sehingga ia berhasil bertahan sejak masa kuno untuk diwariskan seperti ini.

Cale mengeluarkan perisai itu sekali lagi.

“Persis seperti dugaanku.”

Cale tersenyum. Gambar di perisai itu telah berubah menjadi bentuk hati. Satu-satunya perbedaan dengan tato di dadanya adalah warnanya yang perak dan bukan merah. Dia lantas memasukkan kembali perisai itu, lalu mulai berjalan.

“Kamu.”

Cale berjalan ke arah naga itu, yang berpura-pura seakan-akan tidak terjadi apapun dan sebagai gantinya terus menatap ke langit-langit. Cale terus memelototi naga itu yang meringkuk di atas tanah. Dia lantas menanyai naga itu dengan datar, seolah-olah dia sedang melempar batu ke dalam danau. [1]

“Kamu ingin ikut denganku?”

“…Kamu sangat lemah jadi kamu butuh perlindungan. Tapi aku tidak suka manusia.”

Naga itu menjawab seperti itu lalu membuat dirinya tak terlihat. Dia lagi-lagi menggunakan sihir menghilangnya. Cale mendengus melihat naga yang menghilang itu.

“Dasar plin-plan.”

Dia juga bersikap plin-plan karena menanyakan pertanyaan itu setelah memberitahu yang lain untuk tidak menghiraukan naga itu, tapi naga ini juga sama plin-plannya. Namun, Cale tidak bisa lagi mengabaikan naga itu setelah tadi dia berusaha menyelamatkannya.

Cale melihat sekeliling gua, yang kini tidak memiliki badai angin yang mengamuk, lantas berbalik dan keluar dari gua. Tentu saja, dia harus merangkak kembali untuk keluar. Dia mengembalikan tanaman merambat ke posisinya semula, dan menutupi pintu masuk gua.

Dia lalu berbalik dan berbicara seraya berjalan menjauh. Tatapannya terarah ke sebuah area berumput.

“Aku bisa melihatmu berdiri di atas rumput.”

Dia dapat melihat empat jejak di rerumputan, masing-masing milik satu dari empat kaki naga itu. Jejak-jejak kaki ini lalu seketika lenyap. Naga itu telah terbang ke langit. Cale menggeleng-gelengkan kepala.

‘Kurasa keluargaku pada akhirnya bertambah lagi.’

Cale mau tidak mau menghela napas panjang. Sudah jelas naga itu akan terus membuntutinya tanpa menampakkan diri. Dia tidak habis pikir kenapa naga itu begitu cupu padahal dia bisa melakukan sihir kuno seperti sihir menghilang? Cale beranggapan semua naga itu cerdas, tapi mungkin tidak begitu.

Setelah turun dari gunung, Cale dapat melihat ekspresi menyelidik Choi Han. Choi Han memandangi Cale tanpa suara, lantas akhirnya bertanya.

“Apa Anda… berguling-guling di gunung?”

‘Sial.’

Angin membuat rambutnya berantakan, dan pakaiannya kotor setelah merangkak di sepanjang pintu masuk gua yang berbatu dan berpasir.

Cale menjawab Choi Han dengan ketus.

“Ya. Aku berguling-guling.”

Choi Han memandangi Cale dengan prihatin. Tapi Cale menghindari tatapan Choi Han.

Malam itu, Cale menyuruh kedua anak kucing untuk mengirim pesan. Itu adalah sebuah surat yang dibuat dengan sihir, agar tulisan tangan penulisnya tidak mungkin bisa dipastikan.

“Pastikan mereka tidak melihatmu.”

Surat itu adalah harapan baru bagi Cage si pendeta wanita dan putra sulung Marquis, Taylor.    

 

>>>>> 

 

*Epikureanisme: adalah filosofi hidup yang dicetuskan oleh Epicurus, seorang filosofer Yunani, yang mengajarkan bahwa seseorang harus hidup bersahaja untuk memperoleh kebahagian hakiki. Tiga kondisi yang dianggap sebagai kebahagiaan oleh Epicurus adalah ketenangan, kebebasan dari rasa takut, dan ketiadaan dari rasa sakit. (https://yunoya.id/2020/12/31/filosofi-epicureanism-sebuah-seni-untuk-menemukan-kebahagiaan/)

 

[1] Peribahasa Korea yang mirip dengan peribahasa Bahasa Inggris ‘mencoba menghancurkan batu dengan sebuah telur.’ 

 

***

Proofreader: Tsura

 

<<<

Chapter Sebelumnya                   

>>>             

Chapter Selanjutnya 

===

Daftar Isi