Friday, March 5, 2021

Trash of the Count’s Family (#25)

 


Pembuat Onar di Keluarga Count

Chapter 25: Balas Budi (5)


Larut malam di sebuah rumah kecil berlantai dua di pinggiran Kota Puzzle. Satu-satunya cahaya di area itu berasal dari lampu di lantai pertama rumah kecil ini, yang memancar keluar melalui jendela. Putra sulung Marquis Stan, Taylor, pemilik rumah itu, mengerutkan kening.

“Apa yang terjadi?”

“Sial. Ugh. Sebentar. Jangan ajak aku bicara sekarang.”

Cage, pendeta wanita Dewa Kematian, mencengkeram kepalanya dengan kesakitan.

Klang.

Cangkir bir di tangannya jatuh ke lantai. Taylor dan tiga bawahannya segera menghampiri Cage.

“Kenapa? Apa dewa mengatakan sesuatu kepadamu lagi?”

Taylor memandanginya dengan prihatin. Dewa Kematian berbicara kepada Cage dari waktu ke waktu. Ini terjadi suatu hari dan kadang-kadang muncul seperti ini. Cage menyembunyikan hal ini dari gereja, dan hanya Taylor dan ketiga bawahannya yang tahu tentang ini.

“Ah, menyebalkan sekali!”

Setelah bergumul untuk beberapa saat, Cage melompat berdiri dan keluar ke pintu belakang rumah itu. Dia berjalan dengan tergesa-gesa. Dia masih mencengkeram kepalanya dan sedikit terhuyung, tapi tatapannya tetap fokus pada pintu belakang.

Taylor menyuruh bawahannya agar tetap diam di tempatnya lantas mendorong kursi rodanya dan menyusul Cage.

‘Apa seseorang menyelinap masuk?’

Rumah itu mungkin kecil, tapi ada banyak alarm sihir terpasang di sana-sini. Taylor terlalu paranoid untuk tidur tanpa alarm-alarm ini gara-gara adik laki-lakinya.

Setelah kedua lututnya dihancurkan oleh seorang pembunuh bayaran di kamarnya sendiri di kediaman Marquis, tidak ada lagi tempat yang Taylor anggap aman.

“Cage. Apa yang terjadi?”

“Tunggu.”

Brak!

Cage membanting pintu terbuka.

Taylor hanya dapat melihat sebuah halaman belakang yang lengang. Tenang dan sunyi, seperti biasa. Beberapa lampu menerangi taman itu, menjadikannya area paling terang di rumah itu.

Cage buru-buru ke halaman belakang dan Taylor mengikuti di belakangnya. Cage berjalan hingga pagar pembatas rumah dan terperanjat.

“Ha!”

Tempat ini terletak tepat di luar jangkauan alarm. Di atas pagar itu tampak sebuah menara batu kecil yang tersusun dari lima batu kecil.

Menara batu itu cukup besar untuk ditemukan seorang kesatria yang tinggal di rumah ini ketika dia berpatroli nantinya.

“…Sialan. Ini beneran.”

Kata-kata kasar keluar dari mulut Cage. Taylor tiba di samping Cage dengan kursi rodanya dan melihat menara batu di atas pagar dengan kebingungan.

“Apa ini?”

Mendengar pertanyaan Taylor, Cage membaca pesan yang ditulis dengan kapur di sebelah menara batu.

“’Hancurkan ini jika kamu ingin harapanmu dikabulkan.’ Begitu katanya.”

Rasa bingung dan penasaran keduanya memenuhi wajah Taylor bergantian. Cage mendesah melihat Taylor dan menekan pelipisnya dengan jarinya.

“Aku menyarankan kamu menghancurkannya. Tidak, ini kedengarannya gila, tapi dewa menyuruh untuk menghancurkannya.”

“…Apa?”

“Ini pertama kalinya dewa mengatakan sesuatu yang bukan omong kosong. Kenapa dia banyak sekali bicara belakangan ini? Dia biasanya bicara kepadaku mungkin sekali setahun.”

“Apa hubungannya dengan menara batu ini?”

Cage menoleh untuk membuat kontak mata dengan Taylor.

“Titik balik kehidupan kita. Itu yang dikatakannya.”

Dewa Kematian hanya datang kepada Cage ketika dia sedang tidur. Tidur tidak jauh berbeda dengan kematian. Itu sebabnya mengapa tidur merupakan semacam jalan bagi Dewa Kematian. Akan tetapi, kali ini, dia mendengar dewanya ketika dia sedang minum-minum.

Cage beranggapan Dewa Kematian marah padanya karena terlalu banyak minum bir. Itu sebabnya dia menyambut pesannya. Dia ingin agar dewa ini berhenti menaruh perhatian padanya. Akan tetapi, Dewa Kematian memiliki pesan yang berbeda untuknya.

“’Keputusannya ada di tanganmu. ‘Tapi, jangan hancurkan jika kamu ingin hidup damai.’ Begitu katanya.”

Dia memandangi menara batu itu. Ada sesuatu di bawahnya.    

“Ada sebuah surat di bawah menara batu ini. Kurasa mereka menumpuk menara batu ini demi surat itu.”

Dia menoleh untuk melihat sahabatnya, Taylor. Taylor harus mendongak dari kursi rodanya, jadi, meskipun dia bisa melihat menara batu itu, dia tidak dapat melihat surat di bawahnya.

“Aku tidak merasakan kekuatan aneh menyelubungi menara batu ini.”

Meskipun dia tidak sepeka mage*, menggunakan kekuatan dewa membuat Cage lumayan peka dan intuitif terhadap lingkungan sekitarnya. Dia akan bisa merasakan jika ada kutukan atau energi negatif yang menyelimuti sebuah benda atau tempat. Dia, bagaimanapun juga, adalah pelayan Dewa Kematian.     

Dia menunggu jawaban Taylor.

Taylor menatap langit malam, lantas perlahan berpaling untuk melihat Cage.

“Hancurkan.”

Cage serta merta meninju menara batu di depannya.

Buk. Buk. Buk.

Batu-batu di atas pagar itu berjatuhan. Taylor melihatnya dengan tatapan kosong.

‘Jangan hancurkan jika aku ingin hidup damai?’

Taylor tidak pernah hidup dengan damai. Dia juga tidak ada keinginan untuk bisa hidup damai. Dia mencari cara untuk menyembuhkan kakinya dan terus berusaha. Kemudian-

‘Aku akan memporak-porandakan keluarga terkutukku ini.’

Taylor menjulurkan tangannya dan Cage menyodorkannya amplop itu. Taylor segera membuka amplop itu dan menemukan bahwa surat itu ditulis dengan sihir untuk mencegah orang-orang agar tidak bisa mengenali tulisan tangan si pengirim. Bangsawan sering menggunakan alat ini.

Taylor membuka surat itu tanpa sedikit pun keraguan. Dua baris pertama dari surat itu, yang terlihat melalui sorot lampu-lampu di halaman, segera menarik perhatiannya.

[Putra mahkota memiliki sebuah kekuatan kuno. Disebut dengan ‘Bintang Penyembuhan’, dan tidak berguna baginya. Itu adalah kekuatan sekali-pakai yang dapat menyembuhkan segala jenis luka.]

[Dia sedang berusaha menukarnya dengan siasat untuk menahan pangeran kedua dan pangeran ketiga.]

Tangan Taylor gemetar.

“Apa yang terjadi?”

Cage mematung setelah melihat ekspresi Taylor dan tangannya yang gemetar. Namun, dia segera menjadi tenang.

“Ha!”

Itu karena Taylor tertawa. Dia lalu menyodorkan surat itu kepada Cage.

“Ini akan benar-benar menjadi titik balik kehidupan kita.”

“Apa yang sedang kamu bicarakan?”

Cage mengambil surat dari Taylor dan membacanya. Dia berhenti sejenak setelah membaca tentang kekuatan kuno dan Putra Mahkota, lalu meneruskan membaca sisanya. Kepalanya tersentak setelah membaca bagian bawah surat itu.

[Kakimu mungkin tidak dapat bergerak, tapi kepala, lengan, mata dan mulutmu bisa. Bagian tubuhmu yang lain masih sangat hidup.]

[Keputusan ada di tanganmu, Taylor Stan, putra sulung Marquis Stan.]

Taylor menatap ke arah kegelapan di pojok halaman lantas berkata.

“Cage.”

“Ya?”

“Mari serahkan tempat ini kepada kepala pelayan, dan menuju ke ibu kota untuk sekarang.”

“Oke.”

Dia memutuskan untuk mengikuti keputusan Taylor. Dia adalah seseorang yang telah mengalami kematian lebih sering daripada orang lain karena dia adalah pendeta Dewa Kematian, sehingga menjadikannya sangat menghargai kehidupan.

“Aku yakin Taylor yang cerdas akan mengurus semuanya. Kamu cukup mahir melakukannya.”

Cage mempercayai pemikiran dan kemampuan Taylor.

“Kamu benar. Aku dulunya cukup mahir.”

‘Dulunya.’ Cage memandangi Taylor setelah mendengarnya menggunakan kalimat bentuk lampau.

“Aku harusnya tahu bagaimana menjaga diriku sendiri.”

Sayangnya, kaki Taylor cedera karena dia tidak menjaga dirinya sendiri dengan baik dengan membiarkan dirinya lengah.

Taylor mengangkat kepalanya untuk melihat rumah kecil berlantai dua itu. Dia telah cukup frustasi berada di sini selama beberapa bulan terakhir mengikuti petunjuk yang dia bahkan tidak tahu benar atau tidak. Daripada meneruskan upaya yang sia-sia ini, akan lebih baik untuk pergi sementara waktu.

Setidaknya Dewa Kematian tidak berbohong. Taylor saat ini membutuhkan sebuah titik balik. Dia lantas berujar.

“Jika Putra Mahkota, maka kita perlu menyesuaikan waktunya dengan acara kerajaan. Kita harus bergegas.”

“Baiklah. Ayo bergegas.”

 “Apa tidak apa-apa? Kita akan bertemu dengan orang-orang dari kuil jika kita pergi ke ibu kota.”

“Memangnya apa yang bisa mereka perbuat? Mengusirku? Itu justru bagus. Aku hanya mencemaskanmu.”

“Terima kasih.”

“Tidak perlu.”

Mereka tersenyum satu sama lain dan berbicara bersamaan, saat Cage mengangkat surat itu.

“Si penyelamat.”

Yah, mereka tidak bisa memastikan apakah orang ini adalah penyelamat meraka atau bukan, tapi mereka berdua punya firasat bahwa penulis surat ini adalah penyelamat mereka. Itu berarti bahwa, mereka perlu mencari penyelamat ini dan membalas budi.

Dua pasang mata bertemu, yang tampak jernih dan tanpa ada bekas minum-minum dari beberapa saat yang lalu, diam-diam menatap surat itu. Itu adalah tatapan dari orang yang telah menemukan titik balik kehidupan mereka.

Kucing merah yang mengamati semua ini dari atap sebuah rumah berbisik kepada kakak perempuannya, On.

“Noona, kita sekarang bisa pulang, kan?”

“Ya. Kita sudah melakukan tugas kita. Ayo kita makan daging.”

“Woohoo!”

Kedua anak kucing itu melompat dari atap ke atap dan kembali ke rumah mereka.


***


Keesokan harinya, Cale berdiri dengan kedua tangan bersedekap dan wajah masam. Tatapannya memandangi seseorang di depannya dari atas ke bawah.

Pakaian yang Cale kenakan bahkan lebih mencolok dan mewah daripada biasanya.

‘Tuan muda! Bahkan jika saya, Hans, tidak di sana, bagaimana Anda bisa berguling-guling di atas gunung?’

‘Saya, Wakil Kapten, yang harusnya menemani Anda!’

‘Aigoo**, tuan muda. Ron ini jadi sangat sedih.’

Cale terpaksa memakai pakaian mencolok karena dia merasa kesal dengan tatapan yang dia terima setelah pulang dalam keadaan berantakan akibat merangkak melewati gua. Pakaian mewah yang dia kenakan tampak serasi dengan rambut merah cerahnya. Cale sudah pasti tidak kalah dalam hal tampang.

Tapi ada alasan lain mengapa Cale terlihat jengkel saat ini.

“Kamu akan pergi seperti itu?”

Mereka sedang berdiri di depan penginapan. Cale berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada dan menatap Choi Han. Choi Han hanya membawa sebuah kantong kecil dan sebilah pedang.

“Ya.”

Tidak ada acara jamuan atau pesta perpisahan spesial untuk Choi Han yang akan pergi. Baik Cale maupun Choi Han tidak menginginkan sesuatu seperti itu.

Itu sebabnya perpisahan ini juga cukup sederhana.

Cale, dua anak kucing, Hans, Ron, Beacrox dan Wakil Kapten. Hanya mereka. Kehadiran Wakil Kapten di sana sedikit janggal, tapi dia berdiri di sana dengan tampang masam seperti Cale saat dia mengucapkan selamat jalan.

“Haaahhh.”

Cale mendesah lantas mengeluarkan sebuah kantong kecil dari sakunya dan melemparkannya ke Choi Han. Choi Han menangkapnya dengan mudah. Dia mengenali kantong itu. ukurannya sama dengan kantong yang Cale berikan ke Naga Hitam. Choi Han membuka kantong itu dan menemukan ramuan obat serta benda-benda berguna lain di dalamnya. Choi Han mengangkat kepalanya dan melihat Cale. Cale berbicara dengan ketus saat mereka membuat kontak mata.

“Apa? Kamu mau apa? Buang saja kalau kamu tidak mau.”

Choi Han tidak mengatakan apapun, tapi Cale mengucapkan apapun yang dia inginkan. Dia lantas berbalik dan berjalan masuk ke kamarnya.

“Selamat jalan.”

Ekspresi Cale datar saat dia berbalik setelah mengucapkan selamat jalan. Tidak ada alasan lagi untuk bertemu Choi Han. Yah, setidaknya, satu kali lagi. Mereka akan bertemu lagi sesampainya di ibukota, sebelum dia mengirim Choi Han pergi dengan Ron dan Beacrox, dengan beberapa perintah. Setelah itu, dia berencana untuk tidak berhubungan dengan Choi Han sama sekali.

“Saya akan segera kembali.”

Respons Choi Han, yang terdengar sedikit gembira, membuat Cale merinding, tapi dia tidak menoleh ke belakang. Choi Han merasa sikap Cale yang tidak menoleh ke belakang itu memang sudah ciri khasnya. Tatapannya lalu berpaling ke anggota rombongan yang lain.

“Sampai jumpa di ibu kota!”

“Ahem. Aku akan berlatih agar aku bisa menjadi penjaga pribadi tuan muda saat kita di ibu kota nanti.”

Wakil Kepala Pelayan Hans mengucapkan salam perpisahan dengan ceria, sedangkan Wakil Kapten merespons dengan suara yang sangat kesal.

“Aku akan menjaga pedangku tetap tajam.”

“Sampai jumpa nanti.”

Beacrox dan Ron juga mengucapkan salam perpisahan. Tentu saja, kedua anak kucing itu menepuk kaki Choi Han dengan cakar mereka sebagai salam perpisahan.

Akhirnya, si Naga Hitam, yang selama ini menggunakan sihir menghilangnya untuk berada di halaman saat siang hari dan berbaring di jendela Cale saat malam hari, mengirim mana tak terlihat kepada Choi Han.

“Aku sudah menerima banyak hal, tapi tampaknya aku terus yang menerima sesuatu.”

Choi Han menaruh kantong sihir ke dalam sakunya lantas tersenyum. Cale tidak dapat melihatnya karena dia sudah berbalik, tapi ini pertama kalinya anggota rombongannya melihat Choi Han tersenyum dengan cerah.

“Sampai bertemu di ibu kota.”

Choi Han berpamitan dengan hormat lantas berjalan keluar dari penginapan.

Seseorang sepertinya, yang telah menghabiskan puluhan tahun seorang diri yang bahkan terasa lebih buruk dari kematian, sekarang punya tempat untuk kembali. Dia juga memiliki orang-orang yang harus dia balas budinya.

‘Aku harus memastikan untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik.’

Choi Han berjalan menjauh dari Cale dan rombongan, dan keluar dari Kota Puzzle.


***


Keesokan harinya, rombongan Cale menaiki kereta kuda dan bersiap meninggalkan Kota Puzzle.

“Tuan muda, kami siap berangkat.”

“Oke.”

Cale menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Ron, dan Ron segera menutup jendela lantas memerintahkan kereta untuk mulai bergerak. Mereka memulai perjalanan mereka kembali.

“Apa yang kalian lihat?”

Cale menatap dua kucing bersaudara, yang terlihat gelisah sambil berusaha menghindari tatapan Cale. Dua anak kucing itu tersentak dan memalingkan pandangan mereka. Cale tersenyum.

“Ada apa? Apa kalian bertemu naga atau semacamnya?”

Akh. Cale mendengar kedua kucing itu terkesiap, namun mengabaikannya. Choi Han mungkin sudah pergi, tapi sekarang seekor naga tengah mengikuti mereka. Akan tetapi, dia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan hal itu.

Setelah satu hari perjalanan, mereka sekarang sedang bersiap untuk membuat kemah.

“Permisi, jika berkenan, sudikah Anda berbagi tempat berkemah Anda?”

Sebuah kereta kuda tiba di area tempat Cale berkemah, dan seseorang yang tampaknya si pengemudi turun dan menghampiri Wakil Kapten.

“Boleh saya tahu siapa Anda?”

Wakil Kapten bertanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya setelah melihat lambang ular merah di baju zirah si pengemudi. Pengemudi itu membungkukkan badan ke arah Wakil Kapten dan Cale yang berada di belakangnya dan memperkenalkan diri.

“Nama saya Tom, dan saya berasal dari kediaman Marquis Stan.”

‘Sial.’

Cale hampir mengatakannya keras-keras, saat dia melihat kereta kuda lusuh tanpa lambang keluarga. Jendela kereta itu terbuka dan Cale dapat melihat wajah Taylor Stan.

“Nama saya Taylor Stan. Saya melihat lambang keluarga Count Henituse, dan ingin meminta tolong, meskipun saya yakin ini bukan hal yang pantas.”

Jika tempat berkemah milik Count Henituse yang kuat, Taylor berpikir dia akan aman untuk malam itu. Tapi di mata Cale itu bukanlah sesuatu yang bagus.

Sekarang Cale telah bertemu dengan Taylor putra sulung Marquis Stan dan Cage si pendeta gila. Dia teringat naga yang mungkin saat ini sedang memburu celeng atau rusa lantas mengerutkan kening.

‘Sial.’

Satu pergi, malah tiga lainnya muncul.

 

___________________________


*Mage = penyihir. Untuk selanjutnya saya akan memakai kata ‘Mage’ seperti di versi Bahasa Inggrisnya.

** Aigoo = seruan dalam bahasa Korea yang biasanya digunakan saat merasa sedih, kesal, atau jengkel; sepadan dengan ‘Ya ampun’ dalam bahasa Indonesia.

 

***

Proofreader: Tsura

 

<<<

Chapter Sebelumnya                   

>>>             

Chapter Selanjutnya 

===

Daftar Isi  



 

No comments:

Post a Comment