Chapter 299: Kelahiran Prematur (2)
Penerjemah:
Shira Ulwiya
Presiden
Perusahaan Jasa Dagang pernah beberapa kali makan bersama dengan Permaisuri
Navier. Sejujurnya, dia adalah permaisuri yang dingin. Setiap kali makan, dia
takut memikirkan apakah orang di depannya adalah buku etiket atau bahkan hidup.
Tapi dia
tidak membenci Permaisuri Navier. Meskipun Permaisuri tidak menunjukkan senyum
ramah padanya, dia juga tidak mengkhianatinya dengan topeng kebaikan, apalagi
mengubah kata-katanya di belakangnya.
Navier
bukan orang yang hangat, tapi dia bisa dipercaya dan setia.
Meskipun
dia tidak merangkul orang miskin dengan hati yang baik dan penuh kasih, dia
jelas merawat mereka lebih baik daripada orang yang banyak omong.
Ketika
Rashta menjadi permaisuri, presiden merasa cemas selama beberapa hari dengan
perasaan campur aduk.
Sungguh
menyakitkan melihat bagaimana Permaisuri Navier yang tidak bersalah dilengserkan
seolah-olah dia telah melakukan hal-hal yang buruk. Pada saat yang sama, dia
senang kalau permaisuri baru berasal dari rakyat biasa dan memiliki hati yang
baik. Ketika dia menyumbangkan sejumlah besar uang, dia merasa kagum karena dia
benar-benar orang yang baik.
Pada
akhirnya, dia memutuskan untuk beradaptasi dengan era yang baru. Berfokus pada
perluasan dan penguatan tim perdagangannya.
Tapi dia
menemukan kebenaran tersembunyi yang gelap dengan tangannya sendiri. Presiden
memejamkan mata dan bersandar di kursinya saat perasaan hampa dan sepi dengan
cepat menghampirinya.
“Tidak
mungkin…”
Menutup
matanya, dia bergumam dengan perasaan sedih, air mata entah kenapa muncul di
sudut matanya.
Permaisuri
Rashta mengumumkan kalau dia akan menyumbangkan sejumlah besar uang ke berbagai
institusi di tengah-tengah acara pernikahannya, yang juga dihadiri oleh
Permaisuri Navier.
Dia
mendengar orang-orang yang memuji Rashta bergumam kalau Permaisuri Navier tidak
tahu malu.
Presiden juga
sependapat. Bagaimana dia bisa menghadiri pernikahan mantan suaminya dengan
suami barunya?
Tentu saja,
itu adalah urusan negara, tetapi dia bisa saja berpura-pura sakit dan mengirim
delegasi atas nama mereka.
'Seperti
yang diharapkan dari seorang permaisuri yang menikah lagi, dia pasti sedikit
tidak tahu malu.' Begitu
pikirnya saat itu ketika dia melihat Empress Navier yang dingin.
Tapi itu hanyalah
kesalahpahaman. Sebuah prasangka.
Presiden
menyesalinya ketika dia membayangkan bagaimana perasaan Permaisuri Navier
ketika Permaisuri Rashta membagi-bagikan uangnya dan menerima pujian dari
orang-orang.
Itu tidak
adil. Dia pasti merasa kesal dan sedih. Bahkan orang yang paling dingin pun
punya perasaan. Dia pasti tidak bisa berkata-kata.
Dia teringat
sorak-sorai rakyat jelata kepada Permaisuri Rashta di parade pernikahan dan
keheningan yang hampir mematikan ketika Permaisuri Navier melewati mereka di
dalam kereta.
“Tidak
mungkin…”
Presiden mengeluarkan
suara erangan yang tidak jelas. Dia merasa menyesal atas betapa tidak adil dan
betapa menyakitkannya itu. Dia merasa begitu meskipun dia tidak terlalu menyukai
Permaisuri Navier.
Sang presiden,
yang telah terisak-isak selama sekitar 15 menit, terlambat menyadari suara ketukan
yang terdengar di pintu.
"Presiden?"
Sang sekretaris,
yang datang dengan setumpuk dokumen, mendekati presiden dengan terkejut ketika
dia melihat matanya yang merah.
"Apakah
Anda baik-baik saja?"
Melambaikan
tangannya untuk menunjukkan kalau dia baik-baik saja, presiden memerintahkan
dengan suara dingin,
“Lupakan,
lupakan. Temukan seorang jurnalis bernama Joanson dan bawa dia ke sini.”
* * *
Jurnalis
itu bertanya-tanya mengapa Presiden Perusahaan Jasa Dagang memanggilnya.
Biasanya, ini tidak pernah terjadi.
"Terima
kasih sudah datang."
Presiden
menunjuk kursi di seberang meja. Joanson melihat dengan ragu antara presiden
dan kursi sebelum duduk.
"Anda
memanggilku?"
"Kamu
tidak begitu terlihat baik."
“Aku sangat
sibuk.”
"Apakah
kamu sibuk mengumpulkan informasi untuk menulis artikel melawan Permaisuri
Rashta?"
Tangan
Joanson terhenti saat dia dengan tenang membuka buku catatannya. Namun, dia
segera mendongak dengan galak.
“Jadi ternyata
presiden adalah pendukung setia Permaisuri Rashta? Aku sudah dengar kalau
kalian berdua memiliki hubungan yang sangat baik.”
Presiden
tahu dia telah menemukan orang yang tepat ketika dia melihat ekspresi itu. Tapi
entah kenapa, Joanson sangat kesal sekarang.
"Jadilah
lebih rasional."
Mendengar
suara tegas presiden, Joanson memiringkan kepalanya dengan bingung. Kekuatan
yang dia gunakan untuk memegang pena di tangannya juga terlihat.
“Aku tidak
membutuhkan jurnalis bodoh yang tidak bisa mengenali apakah seseorang adalah
musuh atau sekutu. Keluar."
Presiden itu
berbicara dengan dingin dan membunyikan bel kecil di mejanya.
Begitu
sekretaris masuk, presiden berkata, "Antar tamu ini keluar." Kemudian,
seolah-olah dia sama sekali tidak tertarik pada Joanson, presiden memutar
kursinya ke satu sisi dan mengeluarkan sebuah koran.
Sekretaris
itu menarik lengan Joanson.
“Tolong
pergi sekarang.”
Kenapa dia
memanggilku kalau begitu? Joanson menganggap tindakan presiden tidak masuk
akal. Apa pedulinya jika aku menulis artikel buruk tentang Permaisuri Rashta?
Joanson
mendengus dan mengikuti sekretaris itu ke pintu. Tapi setelah tiga langkah, dia
kembali, duduk di kursi dan meminta maaf.
"Maafkan
aku. Aku tidak berpikir jernih.”
Baru
sekarang dia mengerti nuansa aneh dalam ucapan si presiden.
Tidak
bisakah aku mengenali apakah seseorang adalah musuh atau sekutu? Biasanya musuh
tidak akan mengatakan ini. Sebaliknya, seseorang yang ingin menjadi sekutu akan
mengatakannya.
Rasionalitasnya,
yang telah terkubur dalam segala macam emosi negatif dan intens setelah
hilangnya adik perempuannya, perlahan kembali. Itu terjadi pada waktu yang
tepat.
"Aku
tidak sebodoh itu."
Presiden
tertawa dan membalikkan kursi ke depan. Sekretaris itu pergi, menutup pintu
diam-diam.
Joanson
membuka buku catatannya lagi, meletakkannya di pangkuannya dan menatap presiden
dengan mata membara.
Presiden
pertama-tama mengujinya dengan artikel yang dia tulis melawan Permaisuri
Rashta, dan kemudian mengisyaratkan kalau dia bukan musuh. Jelas kalau apa yang
ingin dikatakan presiden kepadanya terkait dengan Permaisuri Rashta.
“Permaisuri
Rashta menyebabkan kegemparan di tengah acara pernikahannya dengan menyatakan kalau
dia sendiri akan menyumbangkan dua puluh juta krang dalam surat perjanjian
hutang. Apakah kamu ingat?"
Seperti
yang dia duga, nama Permaisuri Rashta keluar dari mulut presiden.
Sudut mulut
Joanson melengkung.
“Bagaimana
mungkin aku tidak mengingatnya? Aku memujinya selama seminggu untuk itu. Itu
satu-satunya hal baik yang dia lakukan.”
"Hmm...
apa kau tahu surat perjanjian hutang itu milik siapa?"
‘Mengapa
dia menanyakan pertanyaan itu?’
Untuk
sesaat, ekspresi Joanson sedikit ragu-ragu.
"Apakah
surat perjanjian hutang itu bukan dari Permaisuri Rashta?"
Ketika
presiden mengangguk, ekspresinya menjadi dingin.
"Jadi
Kaisar sedang berusaha untuk meningkatkan nama baik istrinya."
"Sayangnya,
Kaisar tidak menggunakan surat perjanjian hutangnya."
“…”
Joanson,
yang berkedip bingung, berdiri ketakutan setelah terlambat memahami
kata-katanya. Kursi itu jatuh ke lantai dengan berdebum.
"Tidak
mungkin…!"
"Surat
perjanjian hutang itu berasal dari Permaisuri Navier."
"Apa
... apa yang Anda katakan?!"
Tangan
Joanson gemetar ketika dia mendengarkan presiden menceritakan apa yang dia
sendiri temukan. Joanson tercengang mengetahui kalau Rashta telah memanfaatkan
surat perjanjian hutang itu di depan Permaisuri Navier di tengah-tengah acara pernikahannya.
Permaisuri
Navier, lahir dalam keluarga yang baik, makan dengan baik, hidup dengan baik
dan mencapai puncak kekuasaan. Dia hanya kekurangan kasih sayang suaminya. Pada
awalnya, Joanson merasa tidak masuk akal bahwa orang yang harus memikirkan
bagaimana memenuhi kebutuhannya sendiri akan mengkhawatirkan Permaisuri Navier.
Selir
Rashta, yang telah melalui segala macam kesulitan untuk mencapai posisi itu,
lebih menyedihkan daripada Permaisuri Navier.
Bahkan setelah
dia menjadi selir, para bangsawan mengejeknya dan Permaisuri memperlakukannya
dengan dingin, tetapi apakah orang masih mengasihani Permaisuri Navier? Dia
menganggap itu benar-benar tidak masuk akal.
Meskipun
dia kemudian sedikit menderita akibat perceraiannya, Permaisuri Navier akhirnya
menikah lagi dengan raja negara tetangga. Joanson mulai berpikir kalau dia
dilahirkan dengan berkah alami untuk dapat menjalani kehidupan yang begitu
tenang.
Tetapi
apakah uang yang disumbangkan Permaisuri Rashta berasal dari Permaisuri Navier?
Apakah dia bahkan melakukannya di depan Permaisuri Navier dan dipuji oleh
mereka yang hadir?
Joanson
terdiam. Dunia yang sampai sekarang dia pikir dia tahu tampaknya telah
terbalik.
Sama
seperti terkejutnya dia kalau Permaisuri Rashta, cahaya dan harapan rakyat
jelata, terkait dengan hilangnya saudara perempuannya, dia juga terkejut kalau
Permaisuri Navier, seorang wanita bangsawan berhati dingin, menahan diri sementara
dia melihat perilaku aneh Permaisuri Rashta.
"Ini
... ini benar-benar ..."
Presiden
memerintahkannya dengan tegas.
“Tulis
artikel tentang ini. Kita tidak tahu tindakan balasan apa yang mungkin
dilakukan keluarga kekaisaran, jadi jangan terlalu menegaskannya, cukup untuk
menimbulkan keraguan.”
Joanson terjerat
dalam emosinya, tetapi sang presiden adalah orang yang penuh perhitungan.
Presiden
memerintahkannya dengan tegas.
Bukan
karena emosinya dia memanggil Joanson dan memberinya perintah ini.
Dia telah
kehilangan kepercayaan pada Permaisuri Rashta dan telah memutuskan untuk
melepaskan diri darinya karena dia memiliki firasat buruk tentang masa
depannya.
“Pastikan
untuk memperjelas kalau Perusahaan Jasa Dagang dan Permaisuri Rashta tidak ada
hubungan satu sama lain. Aku berniat menarik garis di antara kami.”
***
Duduk lemas
di kursinya, pelayannya menyisir rambutnya dan membasuh wajahnya dengan kain
lembut.
Saat mereka
terus memperbaiki rambutnya, Rashta mengambil koran dari pelayan lain untuk
dibaca.
Ekspresi
pelayan itu sangat aneh, tetapi Rashta tidak terlalu memikirkannya. Dia hanya
berpikir akan ada berita menarik.
Setelah
beberapa saat, tangan Rashta gemetar saat membaca koran. Gemetarnya perlahan-lahan
menyebar ke seluruh tubuhnya.
“Yang
Mulia?”
Pelayan itu
menatap permaisuri dengan terkejut sementara dia menyisir rambutnya. Wajah
Rashta seputih salju.
“Yang
Mulia!”
“Perutku…
perutku…”
Koran yang
dipegang Rashta di tangannya terbuka saat jatuh ke lantai.
Tatapan
pelayan beralih ke artikel yang menimbulkan kecurigaan tentang surat perjanjian
hutang permaisuri. Matanya melebar sesaat, tetapi ketika tubuh Rashta berguncang,
pelayan itu mengalihkan pandangannya dari koran dan mendekapnya.
Rashta
mulai berteriak kesakitan sementara seluruh wajahnya bergetar bermandikan
keringat dingin. Tiba-tiba, dia pingsan sepenuhnya.
“Dokter,
dokter istana! Bawa dokter istana!
* * *
"Yang
Mulia, Permaisuri akan melahirkan prematur!"
***
[Baca
Remarried Empress Bahasa Indonesia di https://shiraulwiya.blogspot.com/]
Diterjemahkan dari https://novelutopia.com/
<<<
>>>
Chapter 295
===
Terimakasih terjemahan nya 💕 semoga sehat selalu 💕
ReplyDelete