Akhirnya
sampailah kita di season terakhir
dari drama live action Seirei no
Moribito atau Guardian of the Spirit.
J Di season sebelumnya, pangeran Chagum
dibebaskan oleh pangeran Raul dari dan
kembali bersama pasukannya ke kerajaan New Yogo dengan syarat dia harus
membunuh ayahnya dan menjadi Raja baru di bawah pemerintahan kerajaan Talsh.
Chagum yang tidak ingin membunuh ayahnya meski untuk menghindari perang,
memutuskan untuk kabur seorang diri dan sekali lagi berusaha membentuk aliansi
dengan Raja Rota. Untuk mengelabui kerajaan Talsh, pasukan yang kembali ke New
Yogo menyebarkan kabar palsu tentang kematian pangeran Chagum.
Saat mengetahui
anaknya masih hidup, Ratu Kedua New Yogo memerintahkan untuk menyewa Balsa
kembali sebagai bodyguard pangeran
Chagum. Sesampai di Rota, pangeran Chagum diculik oleh bangsawan yang menguasai
daerah Rota Selatan, sampai akhirnya Chagum berhasil meloloskan diri dan
bertemu dengan Raja Rota yang baru, Ihan. Raja Ihan mengajukan syarat agar
Chagum dapat meyakinkan Raja Kanbal untuk bergabung ke dalam aliansi terlebih
dahulu. Untuk itulah, Chagum pun memulai perjalanannya ke kerajaan Kanbal
ditemani Balsa yang ditemuinya di tengah perjalanan.
Bagi Balsa, ini
adalah pertama kalinya dia kembali ke tanah kelahirannya setelah 28 tahun dan yang
lebih buruk lagi dia akan menemui orang yang paling ingin dibunuhnya. Seperti
yang diduga, perjalanan ke Kanbal tidaklah mudah karena mata-mata Talsh yang
siap menghabisi mereka di tempat ada di mana-mana.
Memasuki daerah perbatasan
Kanbal, mereka bertemu dengan Cahm yang membawa mereka menemui Kaguro, kakak
Jiguro yang sekaligus merupakan salah satu dari 9 kstaria raja yang disebut
dengan “Tombak Raja”. Di luar dugaan mereka ternyata Raja Kanbal sudah terlebih
dahulu menjalin komunikasi dengan kerajaan Talsh.
Mengetahui ini, Balsa
mengajak Chagum kabur dari rumah Kaguro dan pergi bersembunyi ke rumah Yuka, bibi
Balsa, adik dari ayahnya. Yuka adalah satu-satunya keluarga Balsa yang masih
hidup, karena itu hanya soal waktu sampai Kaguro dan Cahm menemukan Balsa. Saat
mereka tiba di rumah Yuka, Balsa sengaja menyerahkan diri agar dapat bertemu
dengan Raja Kanbal dan bernegosiasi dengannya.
Rogsam, raja
Kanbal saat itu, sedang mempersiapkan acara ritual untuk menerima Luisha – batu
langka yang bernilai tinggi – dari Raja Gunung (roh/dewa). Untuk mendapatkan
Luisha, raja dan 9 kstarianya harus mengalahkan para Roh Penjaga yang disebut
dengan Hyohlu. Melihat kemampuan bertarung Balsa yang luar biasa berkat didikan
Jiguro yang terkenal sebagai ksatria terkuat pada masanya, Raja Rogsam
menjadikan Balsa sebagai salah satu Tombak Raja. Dia kemudian membuat
kesepakatan dengan Chagum jika Balsa berhasil memenangkan Luisha untuknya, maka
dia bersedia memberikan bala bantuan perang kepada kerajaan New Yogo.
Namun
ternyata ambisi Rogsam tidak hanya sekedar mendapatkan Luisha, tapi dia ingin
menantang Raja Gunung dalam sebuah pertarungan. Raja Gunung yang murka akhirnya
‘membawa’ Rogsam ke dunia roh. Sepeninggal Rogsam, tahta kerajaan Kanbal
diwarisi oleh anaknya, pangeran Radal. Dengan ini, Chagum pun berhasil membuat
aliansi dan mendapat ribuan pasukan bala bantuan dari Raja Kanbal dan Rota.
Sementara itu, armada
militer Talsh telah tiba di kerajaan New Yogo dan berhasil memenangkan
peperangan pertama mereka dengan mudah. Bagaimana tidak? Sebagian besar pasukan
New Yogo yang mereka lawan merupakan rakyat biasa yang direkrut untuk mengikuti
perang. Dan salah satunya adalah Tanda, teman masa kecil Balsa. Balsa yang
kembali ke New Yogo dan mendapati kabar Tanda yang mengikuti perang segera
mencari temannya itu. Namun, Balsa terpaksa kembali dengan tangan kosong.
Di
tengah perjalanan mengantar rombongan yang ingin mengungsi ke Kambal, Balsa
bertemu dengan Kocha. Dari Kocha, Balsa mengetahui bahwa Tanda masih hidup dan
saat ini tinggal bersama Kocha dan kakaknya. Balsa pun memutar arah
perjalanannya menuju tempat Tanda berada. Meski selamat dari perang, Tanda
harus merelakan kaki kanannya diamputasi oleh Balsa yang membusuk akibat luka
perang.
Pasukan Talsh
melanjutkan penyerangan ke pos pertahanan kedua pasukan New Yogo. Di sana,
pasukan Talsh membombardir menara pertahanan dan pasukan panah New Yogo. Memasuki
hari kedua penyerangan, pasukan New Yogo akhirnya berada di ambang kekalahan.
Saat itulah, pangeran Chagum datang dengan bala bantuan yang dibawanya.
Menghadapi kepungan serangan dari berbagai arah, kerajaan Talsh pun mundur
setelah kehilangan setengah pasukannya. Pangeran Chagum kembali ke istana untuk
bertemu dengan ayahandanya dan mengabarkan berita kemenangan ini.
Akan tetapi,
Raja New Yogo yang sejak awal menolak aliansi dengan kerajaan lain justru meminta
pasukan dari kedua kerajaan untuk kembali pulang. Pangeran Raul yang mengetahui
berita ini memutuskan untuk menyerang istana kerajaan New Yogo. Sementara itu
di istana, Chagum mendapat informasi dari Shuga, Peramal Bintang Kerajaan,
bahwa banjir besar akan segera datang dan menyapu habis kerajaan New Yogo. Banjir
besar ini disebabkan oleh salju yang meleleh secara serentak akibat air musim
semi yang mengalir di dunia roh Nayugu. Akhirnya, Chagum memutuskan untuk bernegosiasi
dengan pangeran Raul agar menghentikan perang dan segera membawa penduduk dan
seluruh pasukan mengungsi ke atas pegunungan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wow, sinposis
yang panjang! J
Maklumlah, memasuki klimaks cerita rasanya tidak mungkin memadatkannya menjadi 2-3
paragraf saja. Anyway, setelah menonton season final ini, aku tidak punya
komentar selain “It was indeed a great
story and adaptation, guys. Totally worth it to watch J”.
Walaupun plot cerita
selama di kerajaan Kabal sangatlah mudah ditebak, namun memasuki bagian cerita
peperangan Talsh dan New Yogo, perhatian saya kembali sepenuhnya terkunci.
Bukan karena saya suka peperangan, tapi karena mereka sangat berhasil
menyajikan suasana peperangan dengan detil-detil penting yang membangun emosi
penonton. Perang, dengan alasan apapun, adalah hal yang hanya membawa luka dan
kepedihan bagi kedua belah pihak dan selayaknya tidak pernah menjadi sebuah
pilihan. Menurut saya, drama ini mengggambarkan pesan itu dengan sangat baik.
Tidak hanya
menyuguhkan adegan peperangan dengan melibatkan banyak pemain dan alat-alat
perang raksasa untuk membuatnya terlihat senyata mungkin, drama ini banyak
menyorot sisi gelap dari sebuah peperangan. Sebagai contoh, bagaimana prajurit
perang yang berasal dari rakyat biasa yang bahkan mungkin tidak pernah
berkelahi selama hidupnya, hanya mampu berdiri kaku di tempatnya dengan tangan
bergetar memegang pedang. Di depan mereka berdiri lawan dengan pedang terhunus
yang siap menebas tanpa ampun, di sekeliling mereka bergelimpangan tubuh-tubuh
yang mengerang kesakitan, dan bagi mereka teriakan-teriakan perang tak ubahnya
seperti panggilan kematian. Sampai di puncak rasa takut mereka, yang ada di
pikiran mereka hanya satu, lari dari tempat itu. Emosi ketakutan dan
keputusasaan itu tersampaikan dengan baik ke penonton.
Contoh lain saat
segerombolan penduduk terpaksa mengungsi karena desa mereka dibakar habis oleh
pasukan kerajaan mereka sendiri untuk mencegah pasukan musuh menjadikan desa
tersebut sebagai medan pertahanan mereka. Ada sebuah dialog dari salah seorang
penduduk yang kurang lebih mengatakan seperti ini “Aku tidak tahu harus
membenci siapa, meskipun aku tahu yang menyebabkan ini adalah pasukan Talsh,
tetap saja yang membakar tokoku yang kubangun sejak kecil adalah prajurit New
Yogo sendiri”. Dialog tersebut menggambarkan bagaimana perang hanya membawa kehancuran
dan kesedihan, di pihak manapun kamu berada, bahkan meskipun bukan kita sendiri
yang berperang.
Oke, itulah
komentar saya mengenai highlight cerita
di season ketiga ini. Meskipun sedih harus berpisah dengan drama seri ini, saya
juga senang karena karena kualitas adaptasinya tetap konsisten dari awal hingga
season akhir sehinggga di akhir film saya bisa tersenyum dengan puas. Bagi yang pernah membaca novelnya mungkin punya pendapat berbeda dengan saya.
Meskipun
tidak membaca novelnya, menurut saya novel ini diadaptasi dengan sangat baik,
karena dengan hanya menonton filmnya saja, saya seolah-olah bisa membayangkan
bagaimana luar biasanya jika saya membaca novelnya langsung. Tidak banyak loh,
drama atau film yang diangkat dari sebuah novel atau manga, mampu mengadaptasi
cerita sebaik versi originalnya. Dan drama Seirei no Moribito menurut saya
adalah salah satu adaptasi live action terbaik di Jepang. Karenanya, saya tak
segan-segan menyandingkannya dengan drama/film live action favorit saya seperti
Death Note, Samurai X, Liar Game dan Nodame Countabile. Well, I think the last part shows how much I love this drama. Hope you
can share the same opinion though. J
No comments:
Post a Comment